The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #5

Chapter 5 - Dunia yang Menolak

Beberapa bulan sebelum kejadian di Goa Candramaya


Langit Jakarta siang itu menggantung rendah, kelabu seperti duka yang enggan reda. Mendung tak hanya menguasai angkasa, tetapi juga hati setiap manusia yang berjalan di bawahnya. Gedung-gedung pencakar langit berdiri kaku, seperti batu nisan raksasa yang menindih jutaan jiwa—terlalu tinggi untuk dijangkau, terlalu dingin untuk menghibur.

Di lantai atas salah satu gedung itu, di balik dinding kaca yang luas dan berkilau, berdiri seorang pria muda bernama Raditya Mahesra. Tubuhnya tegap, matanya tajam, tetapi ada getar samar di jemarinya saat ia menatap selembar kertas putih dengan cap merah tegas di sudutnya.

"Tidak lolos."

Dua kata itu bergema di benaknya, lebih keras dari suara lalu lintas, lebih menyakitkan dari luka fisik. Seolah-olah dunia baru saja memaku label ‘gagal’ di dahinya.

Di hadapannya, duduk seorang pria berseragam militer lengkap. Wajahnya datar, suaranya berat. Seseorang yang sudah terlalu sering mematahkan mimpi orang lain, dan menjadikannya rutinitas.

“Nilai akademismu sempurna. Tapi, Raditya…”

Hening. Ucapan itu seperti sebilah pisau yang digores perlahan, bukan untuk membunuh, tapi untuk mempermalukan.

“Kau tidak memenuhi standar fisik lapangan. Dan...—”

Raditya menatap lurus, tajam, seolah mencoba mengoyak kebenaran dari bibir lelaki itu.

“Dan apa?” suaranya datar, tenang seperti angin sebelum badai.

Sang pewawancara menarik napas dalam, lalu mengucapkan kalimat yang tak pernah tertulis di buku panduan seleksi:

“Kau bukan anak jenderal. Bukan cucu pejabat. Tak ada yang menjamin nyawamu di medan tempur yang sebenarnya.”

Suasana di ruangan itu membeku. Seakan waktu ikut malu mendengar kenyataan yang telanjang seperti itu.

“Ini bukan soal kemampuan, Nak. Ini soal... koneksi. Realita.”

“Kalau kau bersedia… ada jalur khusus. Tapi, ya—kau tahu sendiri berapa harganya.”

Senyumnya tipis. Sinis. Seolah dunia ini bukan milik mereka yang berjuang, tapi mereka yang membayar.

“Dunia ini keras, Dik. Tak semua bisa dibeli dengan idealisme.”

Raditya menggenggam tangannya. Diam. Tapi matanya menyala—petir tanpa suara. Di dalam dirinya, sebuah fondasi keyakinan runtuh perlahan. Sejak kecil, ia percaya bahwa kerja keras akan membuahkan hasil. Hari itu, ia sadar: dunia bukan arena keadilan, tapi panggung sandiwara yang hanya menghargai warisan dan nama belakang.

“Terima kasih atas waktunya, Pak,” ucapnya akhirnya.

Ia berdiri, menunduk, dan melipat kertas penolakan itu perlahan. Ada elegansi dalam kesedihan yang ditahannya. Tidak ada air mata, hanya luka yang ditelan diam-diam.

“Tapi saya tidak menjual harga diri.”

Dan dengan itu, ia melangkah keluar—meninggalkan ruangan itu, gedung itu, dan seluruh impian yang ia rawat sejak usia belasan. Dunia tidak mengusirnya. Dunia menolaknya dengan senyum palsu dan norma bengkok.

Lihat selengkapnya