“Kau... gagal menjaga mereka. Kau... pengkhianat…”
Bisikan itu menyelinap di antara kabut pekat, menyayat seperti bilah tipis yang dingin menyentuh tengkuk. Suara itu tak asing, namun sulit dikenali. Seolah berasal dari masa lalu yang tak ingin dikenang.
“Kau tidak layak menyandang nama Wirabumi…”
Pekikan memilukan menggema. Darah menggenang di tanah. Jeritan menusuk langit. Api berkobar memakan dinding kayu dan atap ilalang. Sosok mungil tergeletak diam di antara kobaran. Seorang perempuan berlari, wajahnya pucat dan penuh teror.
“RAKA!”
Pria berseragam kebesaran berdiri di ambang kematian, darah mengalir dari luka tusukan tombak di perutnya. Senyumnya getir, pasrah, sebelum tubuhnya terjerembab di tanah, menjemput ajal dalam diam.
Tubuh Raka tersentak. Napasnya memburu, dadanya naik turun cepat. Dunia gelap itu lenyap dalam sekejap, digantikan oleh langit-langit bilik dari anyaman daun kelapa yang remang disinari cahaya pagi.
Keringat dingin membasahi tubuhnya, menyusup di antara serat kain kasar yang melekat pada kulit. Matanya menatap kosong pada langit-langit, butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa ia tidak lagi berada di kamarnya—atau setidaknya bukan kamar yang ia kenal.
Ia duduk di atas ranjang jerami yang menimbulkan rasa gatal, lalu menoleh. Dinding kayu sederhana, rak bambu dengan kendi tanah liat, dan meja kecil yang menampung segulung daun lontar bertulisan asing serta sebilah pisau bergagang tulang. Tak ada lampu, hanya sinar matahari yang mengintip malu-malu dari celah dinding.
Di luar, suara ayam jago bersahutan. Tapi bukan diiringi klakson atau deru kendaraan. Yang terdengar justru nada lembut alat musik tradisional—terompet bambu, denting gong, dan lonceng pasar.
“Di mana aku…?” gumamnya parau.
Ia berdiri. Kain tenun membungkus tubuhnya, disilangkan dengan selempang kulit tempat menyelipkan pisau. Tak ada jaket, tak ada jeans, tak ada ponsel. Hanya dunia yang terasa seperti melompat keluar dari lukisan kuno atau diorama museum sejarah.
Dengan langkah berat, Raka membuka pintu.
Dan dunia baru pun tersingkap.
Tanah jalan berwarna merah tanah liat, bangunan dari batu andesit dan kayu yang diukir indah, bendera warna-warni bergoyang tertiup angin. Aroma rempah dan asap dupa bercampur dengan wangi tanah basah dan daun segar.
Orang-orang berlalu-lalang mengenakan pakaian khas yang hanya pernah ia lihat di film-film epik sejarah—ikat kepala, kain jarik, rompi kulit, dan keris di pinggang. Ada pedagang yang menjajakan ramuan dengan daun-daun bercahaya, anak-anak kecil bermain dengan mainan yang melayang, dan penjaga yang mengenakan zirah kulit kijang lengkap dengan tombak bersinar yang berpendar lembut.
Raka memutar tubuh. Mulutnya setengah terbuka dalam keterkejutan. Matanya menyapu setiap sudut jalan.
“Ini… bukan Jakarta…”
Lalu ia mencubit lengannya. Kencang. Perihnya nyata.
“…tapi ini bukan mimpi juga.”