The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #7

Chapter 7 - Pangreksa

Cahaya pagi merambat pelan di sela-sela anyaman dinding bambu, menari di atas lantai tanah liat seperti jari-jari emas yang membangunkan dunia. Udara lembap membawa aroma tanah basah dan rebusan akar, perpaduan sederhana yang menenangkan dan menyembuhkan. Di ruang kecil itu, waktu seakan melambat, membiarkan kehidupan bernapas dalam diam.

Rani duduk di sampingnya, dilimpahi sinar lembut pagi yang memantul di wajahnya. Tangannya cekatan mengaduk ramuan dalam kendi tanah liat, gerak-geriknya tenang tapi pasti. Di balik kelembutan tatapannya, tersembunyi keteguhan yang tak mudah digoyahkan.

“Kakang… luka dalam tubuhmu belum pulih sepenuhnya,” ucapnya dengan suara rendah, nyaris seperti doa yang melayang di udara. “Tapi tenanglah. Biar aku bantu.”

Tangan mungilnya terulur, menyentuh dada raka itu dengan pelan. Seketika, aliran hangat merambat dari telapak tangannya—bukan panas biasa, tapi sesuatu yang lebih halus, lebih hidup. Seolah ada denyut alam yang mengalir, sabar dan terus-menerus, seperti Éra yang disebut-sebut dalam ajaran Kadeyan.

Cahaya kehijauan muncul, samar namun nyata, membentuk pola Éra di kulitnya. Rani menutup mata dan mulai melantunkan mantra dalam bisikan:

“Sawetining jagat, rahayu lumantar.”

Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu kedamaian. Aura hijau menyelimuti tubuhnya, dan rasa nyeri yang selama ini membebani sendi-sendi perlahan menguap. Napas menjadi ringan, detak jantung tak lagi memburu. Ada ketenangan yang meresap hingga ke dalam tulang.

“Mantra dasar ajian Pangreksa,” ucap Rani setelah menarik napas panjang. “Ilmu untuk menyembuhkan, melindungi, dan menjaga keseimbangan Éra dalam tubuh. Bukan hanya tubuhmu, Kakang… tapi juga jiwamu.”

Ada keheningan sesaat. Di matanya, terlihat bahwa ia memahami sesuatu yang lebih dari sekadar ilmu—sebuah pemahaman akan keterikatan antara raga, jiwa, dan semesta. Harmoni yang harus dijaga, agar manusia tetap utuh.

“Di dunia tempatku berasal,” gumam lelaki itu lirih, “Pangreksa… seperti healer dalam dunia fantasi barat. Tapi ini… lebih dari itu, bukan?”

Rani hanya tersenyum. Senyum kecil yang sarat makna. “Aku tak tahu dunia apa itu, tapi… mungkin kita tak seberbeda itu, Kakang. Di mana pun, seseorang harus belajar menjaga, bukan hanya menyerang.”

Ia kembali pada ramuan di kendi dan menyerahkannya dengan penuh kehati-hatian. Cairan itu hangat di genggaman, dan terasa seolah menyimpan lebih dari sekadar khasiat—ada ketulusan, ada cinta.

“Kita tak bisa terus begini, Kakang,” katanya kemudian, nada suaranya berubah lebih tegas. “Simpanan uang perak kita tinggal sedikit. Hari ini aku harus kembali bekerja di Balai Kadeyan.”

Tak ada protes dari laki-laki itu. Kenyataan yang disebutkan gadis itu terlalu nyata untuk dibantah.

Lihat selengkapnya