The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #8

Chapter 8— Dunia yang Terbuka

Langit di atas Indrakarta pagi itu bersinar keemasan, bukan sekadar karena sinar mentari, tapi seolah alam Maheswara sendiri sedang bersenandung. Cahaya mentari menari lembut di atas menara-menara kuil tua, menyelinap di sela atap jerami dan genting gerabah pasar kota, menyapu wajah-wajah para pedagang dan penabuh gamelan yang mulai membangunkan alun-alun. Embun masih menggantung di ujung-ujung ilalang, memantulkan kilau seperti serpihan Éra — energi murni yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang peka.

Raka berdiri di depan sebuah perpustakaan kecil di sudut Kampung Pelataran, tempat para pelajar kasta rendah dan anak-anak yatim biasanya membaca. Jubah lusuhnya tersapu angin pagi. Tangannya menyentuh batu prasasti tua di gerbang bangunan itu, jari-jarinya menelusuri lekuk-lekuk tulisan aneh yang terpahat dalam batu andesit: huruf-huruf lengkung dan berliku, seperti ukiran pada arca perwara atau mandala tua di candi pegunungan.

Awalnya, aksara itu tak terbaca.

Namun perlahan, sesuatu dalam pikirannya bergeming, seperti lapisan kabut yang terangkat dari permukaan danau.

“Aksara Jawa kuno...? Tapi… kenapa aku bisa mulai membacanya…?”

Huruf demi huruf mulai jelas. Sebuah kalimat tentang kebijaksanaan, tentang pengetahuan yang membebaskan. Seolah dunia ini mengundang, bahkan memaksa, pikirannya untuk menyesuaikan diri. Kilasan ingatan, suara lirih seorang ibu yang membaca kidung sebelum tidur, suara tawa adik kecilnya, aroma dupa di pelataran rumah… semua muncul silih berganti. Tidak hanya ingatan Raka, tetapi juga ingatan Raditya — entitas dirinya dari dunia lain — mulai bersatu dalam kesadaran yang perlahan menyesuaikan dengan hukum realitas Maheswara.

Hari-hari berikutnya, ia menjelajah.

Ia membaca setiap lembar lontar di perpustakaan, mencatat setiap coretan tembok kuil, mengamati lambang di baju para prajurit, hingga menelaah bentuk dan warna batu akik yang digunakan sebagai jimat. Dunia ini bukan hanya dipahami dengan mata, tapi harus diserap dengan rasa dan nalar. Maheswara menyimpan rahasia di setiap retakan dinding, di setiap nyanyian penabuh rebana, di setiap gerak awan di atas puncak Gunung Ardhakesuma yang menjulang di utara kota.

Indrakarta, walau hanya kota kecil dari kerajaan yang besar, tempat ini adalah dunia yang hidup — penuh warna, suara, dan bau. Pasar-pasar menjual rempah yang tak pernah ia kenal: kelopak bunga pembawa mimpi, bubuk akar untuk membuka mata ketiga, daging siluman jenggala yang dipercaya meningkatkan kekuatan. Pedagang dengan tanduk kecil di pelipis menyapa dalam bahasa campuran. Anak-anak berlarian sambil melambai dengan ekor mungil di belakang mereka, tertawa riang. Siluman pasar bertopeng emas menari sambil menjual mimpi dalam botol.

Ajaib. Dan juga mengerikan.

Lihat selengkapnya