The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #10

Chapter 10 - Gerbang Padepokan

Langkah kaki Raka terhenti di pelataran berbatu yang lengang. Langit telah menggelap, namun bayangan rembulan masih menyinari samar-samar bangunan tua dan tiang-tiang kayu yang berderet di sepanjang sisi lorong. Angin malam menggerakkan dedaunan kering yang tersebar di atas tanah, menambah kesan sunyi dan mencekam.

Namun bukan angin yang membuatnya waspada.

Dari kejauhan—ia tak tahu seberapa jauh, namun jelas tak dekat—ia merasakan sesuatu. Tatapan. Tajam, menusuk, seperti pisau yang menekan tengkuk. Ia menoleh perlahan.

Dan saat itulah jantungnya mencelos.

Sosok pria tua yang tadi berdiri jauh di ujung lorong kini telah berdiri tak sampai satu depa di hadapannya.

“Dia cepat... Aku bahkan tak sempat mendengar langkahnya,” gumam Raka dalam hati, tubuhnya refleks melangkah mundur setengah langkah.

Pria itu mengenakan jubah sederhana berwarna coklat tanah. Wajahnya dipenuhi keriput, namun sorot matanya tajam, seperti mata seekor elang tua yang telah melihat ribuan pertempuran. Di balik ketenangan wajahnya, ada aura tekanan yang menyesakkan dada, seperti gunung yang tampak diam namun menyimpan bara.

“Berhenti di situ, bocah,” ucap pria tua itu. Suaranya berat namun tenang, seperti gemuruh petir di balik awan tebal. “Apa yang kau lakukan barusan tak bisa kau tinggal begitu saja.”

Raka menelan ludah. Di dalam hatinya, masih ada sisa bara dari konfrontasi tadi. Namun kini, yang ia hadapi bukanlah remaja arogan seperti Yuda, melainkan seseorang yang jelas-jelas berada di luar jangkauan kekuatannya.

Ia menyiapkan tubuhnya—bukan untuk menyerang, melainkan untuk bertahan, jika perlu. Tapi pria tua itu malah menoleh, memberikan isyarat dengan dagunya kepada teman-teman Yuda yang masih tersisa.

“Bawa dia ke balai pengobatan,” perintahnya. “Dan jangan coba-coba bertindak bodoh lagi.”

Kedua pemuda itu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk cepat, lalu mengangkat tubuh Yuda yang pingsan sambil sesekali melirik ngeri ke arah sang pria tua. Wajah mereka pucat, seolah berada dalam hadirat makhluk yang lebih menyeramkan daripada iblis mana pun.

Raka memperhatikan mereka diam-diam. Ia sempat melihat ketakutan dalam mata mereka—ketakutan yang bukan tertuju padanya, tapi pada sosok di hadapannya ini.

Pria tua itu berbalik.

“Sekarang ikut aku.”

Tanpa berkata banyak, ia melangkah perlahan menuju sebuah bangunan reyot di sisi utara pelataran. Raka mengikuti dari belakang, masih menjaga jarak, tapi rasa penasarannya sudah mengalahkan ketakutannya.

Bangunan itu tampak seperti barak tua yang nyaris tak dihuni. Warnanya memudar, kayunya termakan waktu, atapnya berserakan daun-daun kering. Tapi begitu Raka melangkah masuk, atmosfer di dalam berubah total.

Meski sederhana, bagian dalamnya bersih dan rapi. Rak-rak kayu penuh dengan gulungan lontar dan buku tua. Di sudut ruangan, terdapat meja rendah dan tikar rotan. Aroma dupa samar-samar memenuhi udara, bercampur dengan bau kayu dan tanah lembap.

Pria itu duduk bersila di atas tikar, lalu menatap Raka dengan pandangan dalam.

“Namaku Resi Gantarajaya. Kepala dan satu-satunya pengasuh di Padepokan Kanuragan Brahmaputra.”

Lihat selengkapnya