The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #11

Chapter 11 - Ilmu dan Inti Dunia

Langit masih membiru gelap, ketika kokok ayam pertama menandai datangnya fajar di perbukitan Indrakarta. Kabut tipis menggantung di antara pohon-pohon tua di sekitar padepokan tua, menyelimuti dunia dalam keheningan suci seolah semesta sedang menahan napas.

Raka duduk bersila di atas tikar jerami kasar, napasnya perlahan, namun jiwanya gelisah. Di hadapannya, Resi Gantarajaya tampak seperti bayangan masa lampau yang hidup kembali—bersorban putih kusam, jubah lusuh dari serat rami, dan sorot mata yang menyimpan ribuan tahun pengetahuan.

Aroma dupa dari kayu candana perlahan memenuhi ruangan, bercampur dengan bau tanah basah, keringat, dan besi tua—simfoni wangi dunia Maheswara.

“Duduklah.”

Suara Resi terdengar seperti petir dari balik kabut—dalam, tegas, namun mengandung kelembutan seperti embun pagi. Barak kayu tempat mereka duduk terasa bukan lagi sekadar bangunan tua, tapi seperti ruang suci. Tempat pengetahuan turun dari langit ke bumi.

Raka mematuhi, bersila, punggungnya tegak. Ia sadar, yang akan disampaikan Resi bukan sekadar pelajaran. Tapi fondasi—akar dari seluruh semesta baru ini.

“Jika kau ingin bertahan hidup di dunia ini,” ucap Resi pelan, “dan lebih dari itu—menyusun takdirmu sendiri—kau harus memahami satu hal: Maheswara ditopang oleh Ilmu.”

Angin berdesir, menyibak tirai bambu di balik mereka. Cahaya mentari pagi menyusup, jatuh tepat ke lantai kayu di antara mereka, seolah menyorot panggung pengetahuan yang akan dimulai.

Raka menelan ludah, matanya memantulkan cahaya itu.

“Ilmu di Maheswara terbagi menjadi tiga cabang utama,” lanjut Resi. Suaranya kini seperti gema dari hutan purba. “Pertama, Kanuragan—ilmu tubuh dan kekuatan fisik. Kedua, Kwisenan—ilmu nalar dan niskala, yang mencakup ajian, mantra, dan rahasia semesta. Ketiga, Kadeyan—ilmu batin, roh, dan jalur ke dunia para leluhur serta makhluk gaib.”

Sambil berbicara, Resi mengangkat tangannya membentuk segitiga di udara, seperti melambangkan tiga pilar jagat.

“Namun ketiga cabang itu,” ia melirik tajam, “semuanya berakar pada satu zat: Éra.”

Ia berdiri perlahan, mengambil kendi tanah liat dari sudut barak, lalu menuang air ke mangkuk hitam berukir manik-manik kuno. Ajaibnya, air itu memancarkan sinar lembut keperakan, seperti bintang yang dilarutkan ke dalam cairan.

Lihat selengkapnya