The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #12

Chapter 12 - Menuju Gerbang Dwiwana

Senja menua di atas langit Maheswara. Warna jingga darah menetes pelan di cakrawala, membelah langit seperti luka yang tak bisa sembuh. Di tanah latihan yang tandus, di tengah aroma tanah yang menguap bersama peluh, Raka terduduk. Tubuhnya yang ringkih tampak seperti hendak rebah, namun masih bersandar pada kemauan yang tak menyerah.

Tangannya menggenggam tanah yang kering dan keras. Dada naik-turun, napasnya seperti hembusan angin yang tercekik.

Di sela-sela latihannya yang tak pernah mengenal kata cukup, ketika tubuhnya sudah menyerah namun pikirannya belum, Raka kembali terjerembab ke tanah. Debu menempel di wajahnya yang bermandikan peluh. Nafasnya terengah, matanya menatap langit senja yang membara seperti luka terbuka di cakrawala.

Dengan suara parau, ia berbisik, “Status window… buka.”

Hening. Hanya desir angin yang menjawab.

Ia tertawa getir, nyaris seperti orang gila.

“Status window, muncul… please… interface, pop up… mana notifikasinya?”

Tak ada. Tak pernah ada. Tidak peduli seberapa keras ia menyebutkan perintah-perintah sakti ala game — tak satu pun yang terjadi.

“Kenapa? Bukankah seharusnya setelah push-up seribu kali, dapat +5 STR? Atau paling tidak muncul tulisan ‘Quest Complete: Latihan Dasar’?”

Ia menatap kedua tangannya yang gemetar. Sendi-sendinya ngilu. Kulitnya lecet. Kuku-kukunya kotor. Tidak ada bilah HP, tidak ada MP, tidak ada EXP bar. Yang ada hanya rasa nyeri di persendian dan kesadaran bahwa setiap tetes keringat itu nyata — bukan simulasi angka.

“Di mana cheat code? Mana sistem tutorialnya? Mana sensei misterius yang muncul tiba-tiba untuk membimbing?”

Ia tertawa pahit.

“Mungkin aku salah genre. Ini bukan isekai power fantasy — ini isekai reality check.”

Ia menunduk. Dulu, di dunia asalnya, ia tumbuh dengan mimpi-mimpi dari cerita yang ia konsumsi habis-habisan: anak culun yang ditabrak truk, lalu bereinkarnasi jadi raja iblis; pemuda biasa yang masuk dungeon dan dalam tiga bulan sudah kalahkan naga kuno hanya dengan skill farming.

Mereka naik level dari membunuh goblin pertama. Dapat harem dari menolong NPC dengan bunga. Menjadi legenda hanya karena “rajin dan tulus.”

Tapi Raka?

Sudah berminggu-minggu di Maheswara. Goblin di sini bukan lelucon. Mereka bisa membongkar perutmu, mengisap isi ususmu sambil tertawa. Harem? Bahkan satu senyuman dari pelayan dapur butuh sebulan kerja dan reputasi tak ternoda.

Dan satu hal paling menyakitkan?

Rasa sakitnya sungguhan.

Tidak seperti game atau anime di mana karakter mengerang saat menerima luka, lalu bangkit esok hari seolah-olah tubuh mereka terbuat dari data biner. Di Maheswara, luka butuh waktu. Memar butuh perawatan. Ada malam-malam ketika tulangnya seperti terbakar dari dalam, dan ia hanya bisa menangis diam-diam di gelap gubuk latihan.

Bahkan healing spell pun bukan solusi instan. Itu hanya membantu tubuh memulihkan diri — tidak membatalkan penderitaan.


Maheswara tidak mengenal shortcut.

Hari-hari terus berlalu, dan meski tubuh Raka makin keras oleh latihan, pikirannya masih dihantui kegagalan dan keraguan. Namun di balik semua itu, ada satu perubahan paling mendasar yang tak terlihat dari luar:

Lihat selengkapnya