Sunyi…
Hening…
Hanya suara napas dan desir angin yang menyusup dari celah-celah papan bambu pondok tua di lereng bukit menemani seorang pemuda yang duduk bersila. Tubuhnya masih tampak kurus, namun sudah mulai menunjukkan bentuk keteguhan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan luka yang dalam.
Raka memejamkan mata. Dalam keheningan sore yang membalut perbukitan Alas Watuwulan, ia mencoba melaksanakan wejangan terakhir dari sang guru, Resi Gantarajaya, seorang pertapa tua dengan mata tajam dan janggut perak yang mengalir hingga dada.
"Pokok ajaran kanuragan bukan hanya otot dan otot… namun juga sunya," ujar sang resi.
"Sunya bukan sekadar diam. Ia adalah ruang di mana tombak jiwamu ditempa. Kau harus bisa menjadi setajam trisula, namun juga setenang telaga. Bila hatimu masih gaduh, bagaimana kau bisa membaca niat lawan bahkan sebelum ia bergerak?"
Tapi ternyata… sunya itu bukan hal yang mudah.
Di balik kelopak matanya yang terpejam, pikiran Raka justru porak-poranda. Gelombang emosi menari liar — suara denting senjata, jeritan masa lalu, dan sorot mata penuh prasangka dari rakyat yang pernah memuliakannya, lalu menginjaknya tanpa belas kasih.
Bayangan ayahnya — tewas oleh tuduhan pengkhianatan yang tak pernah terbukti. Seseorang yang mungkin adiknya — hilang dalam kobaran api saat kerusuhan malam berdarah. Dan dirinya… ditinggal sendiri, dibuang, disingkirkan, dihina.
Tubuhnya diam, namun pikirannya gemuruh. Ia berusaha menyatukan napas dengan aliran Éra — energi dasar kehidupan yang diajarkan mengalir dari langit dan bumi, melewati pusat pusaran di tubuh. Tapi Éra itu tersendat. Seperti sungai yang terhalang batu besar. Dan batu itu… adalah lukanya sendiri.
“Kapan luka ini selesai?”
“Apa benar… aku pantas menuntut kebenaran, jika hatiku sendiri belum damai?”
Dalam kekacauan itu, muncul satu wajah.
Rani Rengganis.
Gadis dusun dengan tangan kasar dan senyum lembut. Tak berdarah ningrat. Tak punya warisan selain sabar dan kesetiaan. Namun ia hadir. Selalu hadir. Saat semua pintu tertutup, Rani tetap tinggal di sisinya.