The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #14

Chapter 14 — KUTUKAN DARAH CAMPURAN

Desa Kalandra, 6 tahun lalu

Senja tak lagi terasa hangat di langit Kalandra. Awan-awan menggantung rendah seperti luka yang tak kunjung sembuh, menyaksikan dunia kecil seorang anak yang runtuh tanpa alasan. Di antara tanah yang kering dan merekah oleh kemarau panjang, debu-debu beterbangan tertiup angin yang kotor oleh kebencian.


Seorang anak perempuan kecil, tak lebih dari delapan tahun, berlari terseok dengan napas terengah. Kakinya berdarah karena menginjak pecahan keramik dan batu tajam. Punggungnya lebam, kulit tangannya tergores-gores oleh semak belukar yang tak sempat ia hindari. Namun rasa sakit itu bukanlah yang paling menyakitkan.

Di belakangnya, suara-suara penuh amarah menggaung seperti genderang perang.

“Pergi kau, anak terkutuk!”

“Makhluk campuran najis!”

“Ardhakala sialan, bawa sial bagi desa!”

Batu pertama menghantam bahunya, membuatnya terpelanting. Batu kedua melukai keningnya, darah mengalir hangat di pelipis. Setiap lemparan bukan sekadar kekerasan fisik—itu adalah penegasan bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia adalah kesalahan yang harus dihapus.

Telinga panjangnya — tanda warisan Ardhian — bergoyang saat ia jatuh terguling di tanah. Anak itu bukan hanya sedang diserang, tapi sedang dilenyapkan secara perlahan oleh dunia yang menolak keberadaannya. Ia tak sepenuhnya manusia, tak sepenuhnya Ardhian — hanya sisa dari hubungan yang tak pernah diakui oleh hukum maupun hati.

Ia mencoba menutupi kepalanya dengan tangan kurusnya, tubuhnya meringkuk seperti daun kering diterpa badai.

Kenapa?

Kenapa dunia membencinya hanya karena ia lahir?

Kenapa bentuk telinganya membuatnya pantas dilempari batu?

Dalam kekacauan itu, langkah kecilnya membawa ia pulang—pulang ke satu-satunya tempat yang masih memiliki warna hangat di dunia yang beku.

Gubuk reyot di ujung desa.

Atapnya bocor. Dindingnya lapuk. Tapi bagi Laras, itu adalah pelukan terakhir dari dunia.

Tangis kecil menggema dalam ruang sempit. Tubuh mungil itu bersimpuh, memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya penuh darah dan luka.

Ibunya duduk di hadapan, tangan menggenggam erat kain yang sudah dipenuhi bercak darah putrinya.

“Bu... Laras jahat, ya...?

Kenapa semua orang mukul Laras...?

Kalau Laras nggak ada... apa semua orang bakal bahagia...?”

Suara Laras parau dan pelan, seperti ranting patah. Ia menunjuk telinganya, dua lembar panjang yang menjuntai lembut seperti kutukan.

“Apa karena ini, Bu...? Kenapa telinga Laras beda...? Kenapa nggak kayak Ibu...?

Potong aja, Bu... potong telinga Laras... Biar Laras bisa kayak yang lain...”

Air mata ibunya akhirnya pecah. Ia menarik tubuh kecil itu ke pelukannya, memeluk seolah tubuh mungil itu adalah harta terakhir yang ia punya. Tubuh yang terus dia lindungi bahkan ketika dunia mengutuknya.

Lihat selengkapnya