The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #15

Chapter 15 — Dewa Telah Mati

Waktu melarutkan luka seperti sungai melarutkan bangkai daun.

Begitulah Laras terjaga, atau mungkin tidak pernah tidur sama sekali. Ruang antara mimpi dan kenyataan telah kabur sejak dunia menghempaskannya ke pinggiran kehidupan. Ia mendapati dirinya di tempat yang asing, di mana cahaya pagi tidak terasa hangat, dan bayangan malam terus menetap, bahkan saat matahari sudah tinggi.

Sebuah rumah reyot berlantai tanah liat dan berdinding bambu anyaman menjadi latarnya—Sanggar Srawung, begitu orang-orang menyebutnya. Tapi bagi anak-anak yang tinggal di sana, tempat itu bukan sekadar sanggar. Ia adalah limbo, penampungan jiwa-jiwa yang ditinggalkan, diabaikan, dicampakkan dari rahim dunia seperti sisa makanan basi di piring para bangsawan.

Di sudut ranjang tikar daun pisang yang mulai menghitam, Laras kecil duduk diam seperti patung batu. Mata kanannya sembab, kering tapi seakan belum berhenti menangis. Di samping tubuhnya yang kurus, tergolek sebuah buku tua dengan sampul kulit retak, dan sepucuk surat lusuh yang telah berulang kali ditekuk dan dibuka kembali, seolah si penerima tidak pernah sanggup menerima isinya:

"Simpan ini…

Ini warisan dari ibumu. Teruslah hidup, meski dunia menolakmu, kau akan mendapatkan kebahagiaanmu."

Tangan mungil Laras menggenggam surat itu dengan gemetar. Tidak ada suara dari bibirnya, tapi wajahnya menjerit. Tangisnya bukan raungan—melainkan diam yang membunuh perlahan, seperti hewan kecil yang terluka terlalu parah untuk bersuara.

Ia mencari ibunya.

Mencari kehangatan yang dulu terasa seperti selimut di malam dingin.

Mencari jawaban.

Namun jawaban pun telah lama mati.

Yang ia temukan hanyalah abu.

Desa Kalandra yang dulu ia panggil rumah, telah hilang tanpa bekas. Tak ada puing. Tak ada api yang tersisa. Bahkan arang pun tidak rela tinggal. Tanahnya rata, hitam, seperti diludahi oleh para dewa. Tidak ada nama yang tertinggal—seolah dunia sendiri menolak untuk mengingat tempat itu pernah ada.

Tuhan telah pergi.

Atau lebih buruk—Tuhan telah mati.

Di dahinya, sebuah luka lama menjalar bagai akar beracun. Luka itu bukan sekadar bekas fisik, tapi warisan dari malam terakhir yang merenggut segalanya. Ia adalah potongan kenangan—kenangan akan cinta seorang ibu yang memeluknya erat saat dunia runtuh, cinta yang kini hanya menjadi bara api dalam dadanya.

Setiap kali ia menyentuh luka itu, Laras merasa seperti menyentuh masa lalu yang tak pernah mau mati. Ia adalah bekas penderitaan, ya. Tapi juga simbol—pengingat bahwa cinta pernah ada... dan juga bagaimana cinta bisa dibakar oleh kebencian dunia.

Ia ingin percaya pada pesan ibunya.

Hidup dan berbahagialah.

Namun, setiap langkahnya seperti jebakan baru. Dunia tidak memberikan tangan—hanya jari yang menunjuk, bibir yang menghina, dan batu-batu yang dilemparkan tanpa ampun.

Anak-anak lain menertawakannya.

"Telinga panjang! Anak kutukan!"

Ia bukan bagian dari mereka. Ia bukan bagian dari siapa-siapa.

Dan dalam hatinya yang perlahan membatu, tumbuh dua racun yang saling menyakiti:

Lihat selengkapnya