The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #16

Chapter 16 — Menjadi Kuat

Laras bangkit. Bukan demi keluarga. Bukan demi keadilan. Bukan pula untuk membalaskan dendam lama yang terpendam di antara celah-celah luka. Ia bangkit demi satu-satunya alasan yang tidak pernah pergi dari benaknya — dirinya sendiri.

Dunia ini tidak pernah menawarkan keadilan. Ia menyadari itu lebih awal dari banyak orang. Sejak kecil, ia telah melihat kebenaran dikubur hidup-hidup oleh kekuasaan, dan kesetiaan dibayar dengan pengkhianatan. Ia tahu, keadilan bukanlah hak bawaan — ia adalah sesuatu yang direbut, dipertahankan dengan darah, dan ditegakkan dengan kekuatan. Dalam dunia yang berkabut kebencian dan bisu terhadap penderitaan, keadilan hanyalah hadiah bagi mereka yang cukup kuat untuk mengadilinya sendiri.

“Segala sesuatu yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat.”

Kalimat itu — setajam belati dan sepahit arak tua — terukir di dasar jiwanya, menggema dalam sunyi setiap malam yang ia lewati sendirian. Ia tidak hanya mempercayainya, ia menjadikannya dogma. Itu bukan sekadar kutipan — itu adalah kitab sucinya.

Di gubuk kecil yang telah lama ditinggalkan waktu, di sudut Sanggar Srawung di mana kabut pagi menggulung seperti napas naga, Laras membuka satu-satunya warisan masa lalu: sebuah Buku Ajian peninggalan ibunya, yang ternyata naskah kuno kaum Ardhian, terbungkus kulit kayu langka dan dijilid dengan benang emas yang nyaris pudar. Tak ada nama pada sampulnya — hanya simbol kuno yang berdenyut samar ketika disentuh, seolah hidup.

Ia tak pernah bertanya apakah ia layak membacanya. Pertanyaan semacam itu, pikirnya, hanya disimpan oleh mereka yang masih bisa berharap. Laras tidak lagi memiliki kemewahan itu. Dalam kehampaan yang memeluknya erat, satu-satunya yang tersisa hanyalah kehendak untuk terus ada — meski dunia enggan mengakuinya.

Setiap hari ia membaca.

Setiap malam ia mencoba memahami.

Setiap saat ia gagal.

Dan dari kegagalan itu, lahirlah kehendak yang lebih jernih.

Ratusan mantra ia rapal. Ribuan simbol ia hafal. Tubuhnya bergetar ketika energi Éra pertama kali mengalir, liar dan membakar pembuluhnya. Ia jatuh. Ia menggigil. Ia muntah darah. Tapi ia bangkit. Lagi. Dan lagi. Luka di tubuhnya tak terhitung, tapi dari tiap luka itu, muncul sesuatu yang tak terlihat — kekuatan.

“Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi,”

bisik dunia dalam diam. Dan Laras mengerti maksudnya. Ia bukan manusia biasa. Ia bukan ciptaan yang akan patuh. Ia adalah kemauan yang dipertajam penderitaan, sesuatu yang bahkan para dewa pun enggan sentuh.

Bagi Laras, kekuatan bukan tujuan. Ia adalah bentuk eksistensi.

Cemooh? Sudah menjadi bagian dari kesehariannya.

Hinaan? Tak lebih dari angin lewat.

Pengkhianatan? Ia telah menanamnya dalam darah.

Yang tersisa hanyalah suara samar dari kehendak purba di dalam dirinya:

Terus. Bertumbuh. Melampaui. Menjadi.

Di setiap pencapaian kecil — menguasai satu ajian baru, menstabilkan Éra dalam tubuhnya, menahan rasa sakit hingga tidak menangis lagi — ia melihat satu lapisan batas terangkat. Dan ia tahu, kekuatan sejati adalah menantang batas itu lagi dan lagi, hingga batas itu hilang, terinjak oleh langkahnya sendiri.

Hari itu, kabut pagi menyambutnya dingin. Di kejauhan, suara roda kereta kuda berderak, memecah kesunyian lembah. Ia menatap ke depan — ke arah Akademi Dwiwana. Bagi banyak orang, akademi itu adalah rumah, tempat belajar, tempat bertumbuh dalam pelindung.

Lihat selengkapnya