The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #17

Chapter 17 - Madya Nagara, Jantung indrabumi

Kereta mereka melaju perlahan melewati gerbang utama Madya Nagara — pusat kebudayaan, kekuasaan, dan ilmu di Kerajaan Indrabumi. Kota ini bukan sekadar ibukota; ia adalah nadi yang mengalirkan hidup bagi seluruh Maheswara, pusat denyut Éra, tempat sejarah, legenda, dan masa depan bertemu dalam satu tarikan napas panjang.

Dinding raksasa menjulang, terbuat dari batu alam tua yang mengilap lembut seperti kulit dewa-dewa dalam pahatan relief kuil suci. Ukiran huruf-huruf kuno Aksara Maheswari memendar samar, bukan hanya sebagai hiasan, melainkan bagian dari sistem pelindung Éra — energi murni yang menjadi jantung teknologi sihir di Maheswara. Cahaya lembut dari ukiran itu berdenyut perlahan, seolah bernapas bersama denyut kota. Tiap denyut adalah pancaran stabil dari Manik Éra, kristal utama yang menyalurkan energi ke seluruh sistem kota.

Setiap pilar penjaga kota dipasangi kristal Éra utama yang memancarkan medan pelindung tak kasat mata. Dalam situasi darurat, kristal-kristal ini bisa menyatu dalam jalinan mantra pertahanan yang membentuk Perisai kubah, pelindung seluruh kota dari serangan luar, baik fisik maupun astral. Menara-menara pengawas bukan sekadar tempat mengintai, tapi juga pusat komunikasi jarak jauh. Di puncaknya, alat berbentuk piring logam tipis berputar pelan — lempung srawung, sarana komunikasi batin yang memungkinkan pengawas berbicara langsung lewat gelombang pikiran.

Saat kereta melewati jalan utama, Madya Nagara terbentang bagai dunia dalam dunia. Kota ini dibangun dengan keseimbangan antara arsitektur kuno dan teknologi sihir praktis. Jalanannya tersusun dari batu hitam pekat yang dirapikan menjadi pola-pola simetris. Di antara celahnya, jalur tipis cahaya biru tampak mengalir — bukan air, melainkan saluran Éra, sistem energi yang menghidupi rumah, pasar, hingga benteng pertahanan kota. Saluran ini berfungsi ganda: sebagai distribusi energi dan penghubung informasi antar titik vital kota melalui getaran Éra yang diterjemahkan menjadi data oleh batu-batu pelacak.

Keramaian mendesak di setiap sudut — orang-orang berwajah beragam berlalu-lalang: Manusa Wisesa bermantel panjang berhias bordir Éra, Ardhian bertelinga runcing dengan jubah-jubah sutra bercorak awan, dan para Manusa Siyung berbadan besar setengah hewan membawa peti-peti dagangan. Di udara, tercium bau besi hangus bercampur aroma bunga liar — perpaduan antara kemajuan dan akar alam.

Rumah-rumah rakyat berdiri rapi, dibangun dari kayu jati dan batu lava yang diukir halus. Atap limasan menjulang seperti tanduk naga, menggambarkan semangat leluhur. Meski tampak tradisional, setiap rumah terhubung dengan batu rumah — kristal kecil dalam altar yang menyimpan dan menyalurkan Éra untuk kebutuhan sehari-hari: memasak, pemurnian air, penghangat ruangan, hingga pengusiran roh halus. Batu rumah ini diselaraskan dengan Panca Titah, lima elemen dasar Éra: Banyu, Geni, Angin, Lemah, dan Swara — air, api, udara, tanah, dan suara. Setiap rumah memilih elemen dominan sesuai fungsi dan tradisi keluarga.

Bangunan-bangunan kokoh namun lentur mengikuti tarian bumi yang kerap berguncang. Kota ini berada di jalur Raga Lindu, wilayah rawan gempa, namun para insinyur sihir dari Akademi Tirthamaya menciptakan sistem anti gempa— tunggak Éra, tiang-tiang berisi mantra penyeimbang yang menyesuaikan struktur dengan irama bumi. Bahkan beberapa bangunan besar tampak seperti melayang rendah di udara — ditopang tiang artefak Éra yang bersinar samar, memperlihatkan keajaiban teknologi kuno yang menjawab tantangan tanah bergempa dan gunung berapi.

Tak jauh dari jalan utama, pasar terbuka terbentang bagaikan taman dunia. Tenda-tenda dari kain bercorak suku berjejer. Penjual dari berbagai ras menjajakan barang-barang aneh dan ajaib: buah berdenyut yang dipakai untuk ramuan penyembuh, logam cair yang mengeras saat disentuh mantra, hingga makhluk kecil bersinar yang berfungsi sebagai lampu. Ada pula alat-alat rumah tangga seperti kendil penyimpan panas, sapu pemanggil angin, dan cermin pendengar bisikan.

Udara di pasar itu berat namun menggoda. Aroma dupa, rempah langka, dan uap logam bercampur dalam simfoni yang merangsang semua pancaindra. Tawar-menawar, tawa anak-anak, dan suara gemerincing alat sihir membentuk musik kota yang tak henti hidup. Sebuah lorong komunikasi dibuka di pinggir pasar — jalur khusus yang memungkinkan pesan visual dikirim dari batu ke batu dalam kilatan cahaya.

Namun pusat dari segalanya adalah Watujaya Mandhira — istana agung yang berdiri di jantung kota. Pilar batu putih mengelilingi halaman tengah, kubah utamanya melambangkan tata surya Maheswara, berputar perlahan dengan tenaga Éra. Di puncaknya, Lempung Batin, kristal pengendali kota, ditempatkan — menghubungkan istana dengan seluruh sistem Éra di Madya Nagara. Ia adalah otak dan jantung kota, tempat segala aliran informasi dan energi dikumpulkan, diselaraskan, dan dialirkan ulang.

Langit kota pun sibuk. Di atas kepala mereka, perisai Éra — kendaraan pribadi berbentuk cakram — meluncur anggun, dikendalikan oleh arus Éra dari pengendali di tangan. Digunakan oleh bangsawan, saudagar kaya, dan anggota akademi. Burung dan hewan raksasa turut terbang tenang, bagian dari lalu lintas udara yang diatur sihir kota melalui Cakra Lintang, sistem navigasi berbasis mantra bintang.

Lihat selengkapnya