Gerbang Akademi Dwiwana menjulang setinggi impian yang pernah patah, terbuat dari batu-batu hitam yang menyimpan riwayat ribuan tahun. Setiap lekukannya bagaikan serpihan waktu, dihiasi kilauan samar Éra yang merambat seperti nadi, seolah gerbang itu sendiri hidup—berjaga, menakar siapa yang layak melangkah masuk dan siapa yang akan terhempas ke jalan sunyi. Di atas ambang pintunya, semboyan kuno terpatri dalam ukiran yang bersinar samar:
"Ngèlmu iku kawruh kang pinanggih dening kawani lan kasetyan."
"Ilmu adalah pengetahuan yang ditempa oleh keberanian dan kesetiaan."
Langit di atas Dwiwana mendung, awan kelabu menggantung seperti ancaman yang belum menemukan bentuknya. Angin membawa aroma logam Éra dan keringat muda, bercampur harap dan gugup. Di pelataran luas yang dipahat dari batu perunggu tua, ribuan pemuda-pemudi dari seluruh penjuru Maheswara berkumpul. Tubuh mereka berdiri kaku, mata mereka menatap gerbang dengan binar—sebagian penuh harapan, sebagian lain diliputi ketakutan.
Ras Ardhian berdiri dalam kelompok tersendiri. Mereka tinggi, ramping, anggun bagai lukisan yang lupa memudar. Kulit mereka berpendar halus, dan pakaian mereka terbuat dari kain Éra tipis yang membungkus tubuh bagai embun. Wajah-wajah mereka nyaris sempurna, namun dingin seperti patung-patung dewa di candi tua. Mereka tidak bicara banyak, namun pandangan mereka menghakimi siapa pun yang melintas terlalu dekat.
Di sisi lain, Manusa Wisesa datang dalam keragaman yang lebih hangat—kulit sawo matang, rambut terikat dengan kain-kain tradisional bermotif warisan leluhur. Ada yang mengenakan kalung dari batu Éra kasar, ada pula yang memegang tongkat warisan keluarga. Mereka tampak lebih hidup, namun lebih cemas—karena di antara mereka, hanya sedikit yang memiliki nama besar.
Namun yang paling mencolok adalah mereka yang tidak sepenuhnya manusia. Beberapa bertanduk kecil, lainnya berbulu dan bersayap hewan, berbalut selaput tembus cahaya. Ada yang berjalan dengan kaki mirip burung, dan yang lain dengan mata yang bersinar hijau redup. Mereka bukan siluman, tapi bukan pula ras biasa, mereka di sebut manusa siyung. Maheswara memang tidak pernah membatasi kehidupan pada satu bentuk.
Di tengah semua itu, dua sosok berjalan pelan: Laras, dan Raka di sisinya.
Laras mengenakan pakaian sederhana—bukan karena ia tidak mampu, tapi karena ia belum tahu bagaimana dunia ini ingin melihatnya. Wajahnya keras, namun matanya menyimpan luka yang telah lama mengering. Ia melangkah lurus di antara kerumunan, namun tatapan-tatapan yang menyertainya seperti duri-duri yang terus menusuk.
Beberapa Ardhian menoleh. Satu di antara mereka, perempuan bermata perak, mengerutkan hidung seolah mencium bau bangkai dari darah campuran.
"Yang itu?" bisiknya pada temannya. " anak Ardhakala, tak berdarah bangsawan. Pasti anak liar."
"Tch. Bahkan tak ada lambang Éra di bajunya. Pasti dia mau mengemis."
Laras tidak menjawab. Tapi Raka yang berdiri di sebelahnya mengepalkan tangan. Ia tahu dunia ini tak pernah adil bagi yang dilahirkan tanpa nama. Ia tahu betapa banyak pintu yang tertutup hanya karena seseorang tak punya sejarah untuk dijadikan tameng.