Beberapa peserta yang baru saja mendaftar mendapat sambutan hangat. Nama-nama besar disambut dengan senyuman dan pelukan formal. Para petugas mencatat nama mereka dengan penuh hormat, memberi tempat duduk terdepan, bahkan ada yang membungkukkan badan, melambangkan betapa dalamnya pengaruh keluarga mereka di kerajaan.
Nama-nama itu mengundang decak kagum. Mereka adalah putra-putri dari para pemangku kuasa, jenderal, dan tetua serikat. Bahkan sebelum mereka mengucap satu kata pun, dunia sudah menetapkan mereka sebagai calon unggulan. Cahaya menyambut langkah mereka.
Namun, tidak dengan Raka.
Ia berdiri di antara kerumunan, tanpa nama, tanpa gelar, tanpa sambutan.
Tubuhnya kurus, bajunya sederhana. Tak ada lambang keluarga, tak ada hiasan Éra, bahkan tak ada sepucuk surat rekomendasi yang ia genggam. Ia hanya membawa dirinya sendiri — dan nama keluarga yang telah lama dunia ludahi: Wirabumi.
Seorang petugas memicingkan mata, melihat nama Raka dalam daftar.
“Nama belakangmu... Wirabumi?” Suaranya meninggi, seolah menemukan bahan lelucon. “Keluarga penghianat itu masih punya nyali mengirim anaknya ke Akademi?”
Beberapa peserta lain ikut menoleh. Tawa pelan mulai terdengar. Satu suara bahkan berbisik cukup keras agar didengar semua orang:
“Anak pembelot. Seharusnya dia tak layak menginjakkan kaki di sini.”
Petugas lain mendengus jijik. “Kembali saja ke lubang tikusmu.”
Tawa meledak. Salah satu peserta bahkan meniru gerakan tikus dengan mengejek, membuat beberapa yang lain tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arah Raka.
Namun Raka tidak menjawab. Tidak membalas. Hanya berdiri — tegak. Matanya tidak menunduk, tapi memandang lurus. Meskipun tubuhnya sedikit gemetar, rahangnya terkunci kuat. Ia telah melewati hinaan yang lebih buruk dari ini. Ini bukan yang pertama. Dan jelas bukan yang terakhir.
Yang mereka tidak tahu adalah, di balik sunyi itu, Raka sedang menghitung.
Menghitung siapa yang bicara lebih dulu. Siapa yang tertawa paling keras. Siapa yang menyimpan dendam, dan siapa yang sekadar ikut arus.
Ia memperhatikan arah langkah mereka, posisi mereka dalam antrean, bahkan tekanan suara mereka saat mencibirnya.
Dalam benaknya, ia menyusun potongan-potongan kecil: siapa yang akan menjadi ancaman, siapa yang bisa dimanfaatkan, dan siapa yang hanya menjadi bayangan.
Karena Raka tahu: untuk bertahan di dunia yang ingin menghancurkannya, ia tidak bisa hanya kuat. Ia harus cerdik. Lebih cerdik dari siapapun.