The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #20

Chapter 20 — Gerbang yang Tak Mengundang

Akademi Dwiwana bukan sekadar tempat menuntut ilmu. Ia adalah warisan peradaban, sisa-sisa kebesaran masa lalu yang nyaris lenyap dalam kabut sejarah. Didirikan selepas Perang Antaramuka — perang besar yang mengguncang dimensi Maheswara hingga batas realitasnya retak — Dwiwana lahir sebagai benteng terakhir untuk menjaga ilmu, keseimbangan Éra, dan akal sehat yang nyaris punah kala pedang dan sihir menguasai dunia.

Dwiwana adalah tempat di mana darah, gelar, dan nama menjadi mata uang utama. Di balik dindingnya yang dibangun dari batu Cakratantra—batu yang konon menyerap niat para penjelajah—para keturunan bangsawan dan pewaris serikat elit dilatih untuk menjadi penguasa dunia. Surat rekomendasi bukan sekadar syarat administratif, melainkan simbol legitimasi warisan kekuasaan. Tanpanya, seseorang hanyalah titik dalam arus sejarah yang terlalu deras untuk dilawan.

"Di sinilah," kata orang, "dunia memilih siapa yang pantas mengubah takdir... dan siapa yang layak dilupakan."

Namun, bahkan sebelum kaki Raka menginjak pelataran suci itu, dunia telah menunjukkan betapa keras wajahnya.

"Tanpa surat rekomendasi, kau hanya pengelana tanpa nama," begitulah bunyi hukum kuno yang tertulis dengan tinta darah pada prasasti Dwiwana.

Di saat para calon siswa memamerkan segel berdarah biru dan surat dari Penguasa Serikat Tertinggi, Raka hanya menggenggam harapan dan keyakinan. Ia adalah anak dari bangsawan yang jatuh yang telah dicoret dari sejarah kerajaan. Namun ia bukan anak biasa.

Raditya Mahesra—jiwa dari dunia asal yang kini menyatu dengan tubuh Raka Wirabumi—pernah menjadi mahasiswa teknik, penggemar sejarah militer klasik, dan penyintas trauma. Dunia asalnya mungkin tidak mengenal sihir, tapi mengenal strategi, ilmu logika, dan kekuatan ketekunan. Raditya tumbuh dalam ketidakadilan sosial, berjuang dalam dunia yang memuja penampilan dan koneksi, dan ia membawa semua luka itu sebagai kekuatan dalam tubuh Raka.

Saat harapan nyaris padam, datanglah sosok tak terduga.

Resi Gantarajaya, lelaki tua berjubah kelam dengan tongkat cemara tua, mendatangi Akademi dengan langkah pelan namun pasti. Ia bukan sekadar guru padepokan biasa — tak hanya sebagai mantan pelindung keluarga raja, dia juga adalah mantan pengarsip Éra tingkat tinggi, pernah menjadi tangan kanan Pendeta Agung sebelum memilih menghilang dari dunia.

"Anak ini... tidak besar dari darah, tapi besar dari tekad," ucapnya lantang di hadapan para tetua Akademi.

"Berikan dia kesempatan. Dunia akan menyesal jika mengabaikannya."

Tinta bercahaya di atas kulit rusa mengikat nasib Raka dengan dunia baru. Namun bahkan saat gerbang terbuka, tidak semua menyambut dengan tangan terbuka. Sebagian mata menatap dengan hormat, sebagian lagi dengan kecemasan dan kewaspadaan.

Setelah pendaftaran, Dwiwana membuka gerbang ujian aji pokok bertahap.

Bukan sekadar mengukur kekuatan, tetapi membedah jiwa hingga ke lapisan terdalam. Inilah Ujian aji pokok dwiwana.

Ujian awal Pena dan Pedang

Tertulis: Menguji sejauh mana mereka memahami dunia.

Praktik: Menguji sejauh mana dunia memahami mereka.

Dan tahap ke tiga akan menjadi ujian penentu yang diputuskan oleh petinggi dwiwana.


Ujian tertulis

Tahap pertama bukanlah ujian kekuatan, melainkan ujian pikiran.

Di bawah langit terbuka, di tengah pelataran luas yang dikelilingi oleh batu-batu penanda Éra, ratusan calon peserta duduk bersila di hadapan meja batu kasar. Tak ada atap yang menaungi mereka—hanya langit, sebagai saksi dari apa yang akan ditimbang hari itu: kecakapan nalar, bukan otot.

Goresan pena dari bulu garuda langka menari di atas lembaran aksara Éra—sejenis kertas suci yang hanya bisa ditulis dengan tinta Éra, disuling dari sari bunga Amreta dan darah lintah langit. Setiap huruf bukan sekadar tulisan, tetapi aliran makna yang bisa bergetar dalam kesadaran pembacanya.

Lihat selengkapnya