Mentari baru saja condong ke barat ketika langit di atas pelataran utama Akademi Dwiwana mulai memancarkan warna jingga keemasan. Dari kejauhan, dentang lonceng suci mengiringi barisan peserta yang berjalan memasuki Arena ujian kedua.
Ujian praktik.
Lapangan berbentuk lingkaran besar yang ditatah dari batu Éra hitam, bersinar lembut dalam pola-pola spiral kuno.
Di tengah arena batu yang luas, berdiri sebuah mahakarya Éra dan logam tua: Golem Brahmandhala — setinggi tiga kali manusia dewasa, berkulit besi kelam dengan urat-urat Éra menyala merah membara di tubuhnya. Matanya bagai obor menyala, dadanya bergemuruh seperti guntur yang menahan sabar.
Bukan sembarang golem. Ini bukan Bhamandala biasa yang digunakan dalam pelatihan umum.
Ini... adalah Brahmandhala: ciptaan dari gabungan tiga cabang ilmu — kekuatan fisik Kanuragan, energi Éra Kwisenan, dan penguatan batin Kadeyan. Dirancang bukan untuk dikalahkan, tetapi untuk menguji batas manusia dan bukan manusia.
Langkah para murid yang mulai berdatangan diiringi sorak-sorai, decak kagum, dan kecemasan yang terasa seperti kabut tipis menyelimuti arena. Para penonton — pengajar, penguji, serta murid dari angkatan atas — duduk di tribun yang setengah melingkar menghadap panggung ujian. Hiruk-pikuk percakapan mulai menggema, bercampur antara semangat dan kecemasan.
"Itu golem yang sama dari ujian seleksi generasi Arunika lima belas tahun lalu..."
"Katanya, bahkan para senior pun tak sanggup menjatuhkannya."
Di atas panggung kehormatan, duduk Reswara, Kepala Penguji Utama, mengenakan jubah merah kehitaman dengan hiasan bercorak batik Éra mengalir dari kerah hingga lengan. Tatapannya tajam, penuh pengamatan.
Ia berdiri. Suaranya keras menggema dengan bantuan mantra resonansi suara:
"Hari ini adalah Ujian Demonstrasi — penilaian aji pokok dari cabang Kanuragan, Kwisenan, dan Kadeyan. Kalian akan melawan Golem Brahmandhala selama tiga menit penuh."
"Bukan untuk menang, bukan untuk menjatuhkannya. Tapi untuk bertahan, untuk berpikir, dan untuk menunjukkan pemahaman atas ilmu yang kalian tekuni."
"Golem ini akan mengincar titik-titik lemah kalian. Ia tidak akan menahan diri. Tapi kalian bebas menggunakan segala ajian, mantra, atau taktik yang kalian miliki."
"Bertahan selama tiga menit... atau keluar arena... atau menyerah... itulah batasnya."
Suasana tiba-tiba hening. Bahkan desiran angin pun terasa sunyi.
"Dan ingat," tambah Reswara, suaranya kini lebih dalam, lebih tajam,
"Ujian ini bukan akhir. Ini hanya penyaringan. Karena setelah ini... hanya mereka yang layak akan bertahan hidup dalam Ujian Terakhir."
"Pendakian ke Puncak Ardhakesuma... tempat yang bahkan para guru pun jarang menginjakkan kaki."
Beberapa murid menegang mendengar nama itu.
Ardhakesuma bukan sekadar gunung. Ia adalah tempat sakral, penuh misteri dan bahaya. Siapa pun yang dikirim ke sana tak dijamin pulang dengan utuh—atau pulang sama sekali.
"Lebih baik gagal di sini... daripada mati di sana," gumam Reswara, nyaris tak terdengar.
Ujian dimulai. Gong dibunyikan. Peserta dipanggil satu per satu, bergantian.
Hiruk-pikuk meledak dari tribun. Ada teriakan penyemangat, taruhan liar, bahkan siulan penuh ejekan. Namun begitu nama-nama dipanggil, sorak itu berubah menjadi keheningan menegangkan.
Gelombang pertama dimulai.
Golem Brahmandhala mengangkat lengan kanannya — palu raksasa dari batu dan Éra menyatu — dan menghantam tanah, mengguncang arena. Seorang murid tersungkur, lalu berusaha bangkit dengan tubuh berdarah. Ia bertahan, namun akhirnya terdorong keluar batas dan dinyatakan gagal.
Beberapa yang lain ada yang sombong dengan memamerkan kekuatan dan ajian bahkan latar belakang perguruannya.
Ada yang tampak biasa saja — tanpa lambang kebangsawanan, tanpa jubah mencolok — justru menunjukkan keluwesan gerakan yang nyaris mustahil dipercaya. Ia menghindar seperti daun tertiup angin, tubuhnya mengikuti arus Éra seperti air mengalir.