The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #22

Chapter 22 — Nyala Éra Seorang Darah Campuran

Setiap suara gong tanda memulai dan berakhir nya waktu ujian berbunyi pelan namun berat, bergema seperti palu takdir di lapangan ujian utama Akademi Dwiwana.

“Peserta berikutnya, Laras Candrakirana.”

Seketika arena menjadi sunyi—bukan karena rasa hormat, melainkan karena rasa ingin tahu yang sarat prasangka. Saat sosok Ardhakala, ras campuran, melangkah masuk, desisan mulai terdengar dari tribun, utamanya dari bangku-bangku Ardhian murni.

“Itu anak campuran manusia, ya?”

“Pasti cepat tumbang.”

“Dia tak seharusnya masuk Akademi ini.”

Laras tetap tenang. Ia telah mendengar cemoohan itu seumur hidupnya. Ia tahu bagaimana dunia ini memperlakukan ras campuran—manusia dan Ardhian—sebagai aib. Tapi baginya, langkah ini bukan untuk membuktikan siapa-siapa. Ini adalah jalan menuju kebebasan.

Di pinggangnya tergantung sebuah buku bersampul kulit, artefak pusaka keluarga, berhiaskan segel perak yang bersinar samar. Buku Mantrawan miliknya—warisan satu-satunya dari ibunya, atau mungkin dari ayahnya.

Buku itu bukan buku Mantrawan biasa. Buku yang tak hanya menjadi tempat menyimpan mantra, tetapi juga Éra cadangan dan media penguat ajian.

Laras berdiri di ujung arena ujian. Di seberangnya, Golem Brahmandhala mulai bangkit—raksasa dari batu dan logam berukuran hampir empat depa. Mata merah menyala dari rongga wajahnya, menatap Laras seakan mengejek keberadaannya. Tubuh golem terbuat dari lapisan logam runik dan batu Éra—material yang hanya bisa digerakkan oleh Éra tingkat tinggi.

“Tiga menit,” pikir Laras. “Bukan untuk menang. Hanya bertahan.”

Itulah syaratnya. Setiap peserta harus bertahan selama tiga menit menghadapi Brahmandhala. Tapi dari yang ia perhatikan sebelumnya, tidak semua peserta mendapat perlakuan yang sama.

Beberapa dirobohkan dalam waktu kurang dari satu menit, meski mereka terlihat kuat. Sementara yang lain tampak seolah diberi celah untuk bertahan. Ada pola. Ada niat. Seakan ujian ini... disetir.

GONG!

Tanda dimulainya ujian.

Golem bergerak. Cepat. Sangat cepat untuk makhluk sebesar itu. Palu besar di tangannya menyapu dari kiri, mengarah ke tubuh Laras.

Laras melompat ke belakang, membuka bukunya. Dari mulutnya terdengar lantunan pelan:

“Ajian Tameng Bayu: Mantra Setalira Waja Sanggraha!”

Sebuah tameng angin berputar muncul di depannya, menahan hantaman awal dari palu golem. Tapi kekuatan dorongan membuatnya terpental, tubuhnya terguling di lantai arena. Tamengnya hancur. Mantra itu memang ajian dasar.

Laras bangkit, mengatur napas. Napasnya sudah berat. Mengucap ajian bukan hanya soal menghafal mantra. Setiap mantra menarik Éra dari tubuh pengguna. Dan Éra setiap manusia—termasuk dirinya—memiliki batasan. Bila Éra dalam tubuh habis, maka Mantrawan akan kelelahan... atau dalam kasus terparah, kehilangan kesadaran, atau bahkan nyawa.

Lihat selengkapnya