The world of Maheswara: I Wanted a Second Chance, Not a Second Curse

voidwise
Chapter #23

Chapter 23 — Rahasia golem Brahmandhala

Waktu berjalan pelan namun pasti. Satu per satu peserta maju ke tengah arena—ada yang tumbang cepat, ada yang bertahan sejenak sebelum menyerah pada batasnya. Setiap kegagalan meninggalkan bekas, seolah mengukir tekanan tak kasat mata di udara.

Lalu, tanpa peringatan, nama itu dipanggil.

"Peserta berikutnya: Raka Wirabumi."

Seperti bilah pedang yang diseret di atas batu cadas, nama itu menyayat keheningan. Seketika, suara-suara di tribun menguap. Sunyi menegang. Lalu muncul gumaman lirih, seperti bisikan angin yang membawa luka masa lalu. Beberapa wajah menegang, beberapa lainnya mencibir—seolah nama itu menghidupkan kembali aib yang tak ingin disebut.

Dan di tengah semua itu, Raka melangkah maju.

"Si keturunan penghianat itu?"

“Si anak dari keluarga buangan”

“Dia bukan petarung.”

“Lihat itu, cuma bawa pena?”

Di tengah arena, sang golem Brahmandhala berdiri—sebuah raksasa setinggi tiga tombak, dibentuk dari logam Éra dan mantra kuno. Tak punya wajah, hanya sorotan merah menyala di rongga matanya.

Raka melangkah masuk, mengenakan pakaian lusuh, tanpa jimat atau pusaka. Di tangannya hanya ada pena Éra yang iya simpan dari ujian tertulis sebelumnya.

“Dia bahkan tak bawa senjata. Ini konyol.”

"Apa dia mau mati?"

Ucapan orang-orang yang melihat raka seperti kekonyolan yang tak menganggab serius ujian ini.

Gong dipukul.

Waktu ujian di aktifkan.

Tanda Ujian dimulai.

Golem melangkah. Tanah bergetar. Palu raksasa tumbuh dari lengannya. Mulai menyerang dengan cepat.

Raka tidak bersiap. Tidak mengambil sikap kuda-kuda.

Dia...hanya berlari.

Sorak tawa meledak.

“Lihat! Dia kabur!”

“Ujian ini bukan lomba lari, bodoh!”

Raka terus menghindar. Golem mengejar, setiap langkahnya membelah udara. Raka tergelincir, melompat, menghindar setipis rambut dari palu maut yang menghantam tanah.

Dia tak pernah menyerang. Tak mencoba melawan. Bahkan tak Mengeluarkan ajian apapun.

Hanya bertahan dan menghindar.

Wajahnya diliputi debu dan keringat. Nafasnya memburu.

Tapi matanya tak panik.

Matanya menghitung.

Langkahnya tak beraturan. Melingkar. Lalu patah arah. Kadang menjauh, kadang mendekat. Sesekali dia membungkuk, menggurat tanah dan batu di sekitarnya. Sekilas tampak seperti gerakan acak—seolah dia mencari pijakan atau terjatuh.

Orang-orang molai mencibir.

“Dia tak tahu apa yang dia lakukan.”

“Kasihan. Malu terakhir sebelum dikeluarkan.”

Detik demi detik berlalu. Golem masih mengayun brutal. Raka terus nyaris mati. Lompatan terakhirnya bahkan membuatnya terguling dan terpojok. Darah mengucur dari lututnya yang tergesek keras.

Setiap detiknya golem menyerang dengan lebih brutal dan kasar seolah ingin membunuh hama yang tak di inginkan.

Lalu...

Langkahnya terhenti.

Golem melangkah dengan tersendat-sendat dan untuk terakhir kalinya, mengangkat palunya tinggi. Semua menahan napas.

"Habis sudah dia..."

"Dia akan mati"

Lihat selengkapnya