Masih di Bukit Laut Biru Negri Fanah di sudut yang sangat tersembunyi, di bawah pohon bungin yang sangat rindang.
Sedikit demi sedikit Pangeran Elang mulai mengerti akan teka teki Ibunya melalui penjelasan dan cerita panjang dari Si Paman Pengemis Tua yang tak lain adalah Pamannya. Dan munculah tekat yang kuat untuk meneruskan apa yang di perjuangkan Ibunya selama ini.
Pangeran Elang pun sempat terdiam hening seolah memikirkan sesuatu yang teramat dalam. Hingga akhirnya Pangeran Elang membuka sebuah pembicaraan mereka kembali.
“Terima kasih Paman. Atas cerita dan penjelasan Mu yang panjang itu barusan. Membuat ku sedikit tenang dan mengerti lebih dalam akan Ibunda ku Paman. Aku tidak tau bagai mana jadinya kalau Aku sampai detik ini tak juga bertemu dengan Mu? Pasti saja Aku masih berkeliaran tak tau arah mencari Ibunda Ku, Sendirian.”
Pangeran Elang pun lanjut memeluk Pengemis Tua itu seolah memeluk seseorang yang teramat ia rindukan dengan penuh kasih sayang. Dan tak sadar sebutir air mata menetes begitu saja dari sisi kelopak matanya.
Yang tentu saja pelukan hangat itu di sambut dengat senang hati oleh Pengemis Tua itu. seraya balik berterima kasih pada Pangeran Elang lewat perkataannya yang tak kalah panjangnnya.
“Sudah lama Paman menunggu waktu ini. Waktu di mana Paman bisa muncul di hadapan Mu Pangeran Elang, Keponakan Ku terkasih. Sudah lama Paman menahan waktu yang tepat untuk bisa memberitahu Mu akan kebenaran ini. Rasanya Paman sangat lega sekali. Kau adalah pengharapan terbesar ku setelah Ibunda Mu Pangeran. Paman yakin Kau pasti bisa melanjutkan tugas Ibunda Mu dengan baik.”
“Emmmm Paman. Apa Kau tau di Negri mana saudara Ku, Denis tinggal? Pesan dari mimpi Ku. Ibunda meminta Ku berjumpa dengan saudara Ku. Apa ada suatu hal yang masih Ku tak ketahui Paman? Apa Paman bisa menjelaskan hal ini juga?”
“Tentu saja Aku tahu. Mana mungkin Aku tak tahu akan kabar Keponakan-keponakan Ku yang sangat berharga.”
Perkataan Paman Pengemis barusan membuat Pangeran Elang gembira namun Pangeran Elang menjadi murung setelah Pengemis Tua itu melanjutkan perkataannya lagi dengan nada yang menurun.
“Tapi bukan Paman yang bisa mengantarkan Mu pada Adik Mu.”
Pangeran Elang pun murung. Dan lalu bertanya.
“Lantas siapa?”
Pamannya pun hanya terdiam dan tak menghiraukan pertanyaan dari Pangeran Elang.
Pengemis Tua itu pun beranjak dari duduknya seraya berkata sembari meluruskan sendi-sendinya yang tampak kaku karna lama tertekan oleh posisi duduknya di tambah dengan usia nya yang tak lagi muda.
“Baik lah Pangeran. Sudah saatnya Aku harus memulangkan Mu.”
Kata Pengmis Tua itu sembari tersenyum pada Pangeran Elang.
“Tunggu dulu Paman!!! Pertanyaan Ku barusan Kau belum jawab!!”
Perotes Pangeran Elang.
“Tak selamannya pertanyaan akan di jawab oleh orang yang sama Pangeran. Mari Pangeran.”
Kata Pengemis Tua itu seraya mengulurkan Tangan kanannya pada Pangeran Elang.
“Hemmmm Kau ini Paman. Baik lah.”
Pangeran Elang pun meraih tangan Pamannya itu dengan sedikit kebingungan karna untuk ke sekian kalinya ia harus bersabar akan jawaban yang ia tanyakan yang tentu saja masih merupakan teka teki untuk nya.
***
Di Kerajaan Dendilian. Raja Denian Patraja tak henti-hentinya memandangi gerbang istana dari atas balkon Kerajaan. Seraya berkata dalam hati.
Entah kapan Anak itu bisa berubah. Untuk kesekian kalinya Ia membuat Ku khawatir! Kemana perginya Anak itu sekarang?
Hingga datang Ratu Patmala dari balik pundaknya menghibur hati Raja Denian Patraja. Menghentikan lamunanya.
“Ya Mulia. Apa Kau sedang memikirkan Pangeran Mahkota?”
Tanya Ratu Patmala yang kini telah berada di sisi Raja Denian Patraja.
“Ya… Anak itu selalu saja membuat Ku tak karuan. Terkadang Aku kesulitan untuk memahami nya. Tapi tetap saja sejauh mana Aku mencoba memahami Anak itu. Aku tetap saja tak mengerti. Coba Kau beri tahu Aku? Apa yang seharusnya Ku lakukan pada Anak Ku itu, istri ku?”
Dengan suara lembutnya Ratu Patmala menimpali Raja Denian Patraja.
“Ya Mulia. Kau tak perlu melakukan apa-apa. Karna kau selalu memikirkan apa yang terbaik untuk anak-anak mu. Hanya saja, terkadang cara mu sedikit berlebihan dan cenderung kaku.”
“Kaku? Seperti itu kah?....”
Tanya Raja Denian Patraja tak percaya.
“Yaa.. Ya Mulia. Lagi pula bukan kah Ya Mulia sudah memerintahkan Penasehat Jong dan Penasehat Munawar untuk mencari keberadaan Pangeran Elang? Lagi pula ini yang ke sekian kalinya Pangeran Elang seperti ini. Aku yakin Pangeran Elang akan segera kembali dengan baik-baik saja seperti yang sudah-sudah. Jadi turunkan sedikit kekawatiran mu ya. Ya Mulia.”
Jelas Ratu Patmala menyemangati Raja Denian Patraja yang berusaha tegar.
Padahal saat itu Ratu Patmala sedang tak kalah kawatir dengan ke adaan Pangeran Elang yang tak kunjung kembali hingga larut malam.
“Aku tak bisa menurunkan rasa ke kawatiran ku pada Putra ku itu. Belum lagi kondisinya yang mudah kecapaian, dan ini sudah larut malam. Sehingga Firasat ku berkata yang tidak-tidak.”
Ratu Patmala pun merasakan firasat yang sama. Yang tak kalah menakutkan dari firasat Raja Denian Patraja. Namun sebagai seorang istri. Ratu Patmala berusaha terlihat tegar agar bisa menguatkan Raja Denian Patraja yang kala itu sangat menghawatirkan Putra nya.
Ratu Patmala pun berkata.
“Mungkin itu hanya perasaan mu saja. Ya Mulia. Berusahalah untuk mempercayai Putra mu. Ya Mulia. Aku saja yakin akan keadaan Putra kita. Pasti dalam keadaan yang baik-baik saja.”
“Semoga saja. Terima kasih Istri ku. Setiap kali aku berbicara dengan mu. Kau selalu bisa menghibur ku.”
Ratu Patmala pun tersenyum lega.
“Tapi Aku tak suka. Kalau-kalau kau terlalu memanjakan Pangeran Mahkota seperti itu. selalu mendukung nya. Sekali-kali kau harus lebih tegas ke pada putra kita itu?”