“Ayahanda… Apakah ayahanda ada di dalam?” tanya Pangeran Elang yang kini mulai mencari ayahandanya. Ia terlihat bingung ketika tak kunjung menemukan tanda-tanda keberadaan ayahandanya, yang pangeran dapati hanyalah ruangan kosong tanpa penghuni.
Ruang pribadi Raja Denian Patraja memang sangat luas, ada barang-barang antik yang menghiasi sudut-sudut ruangan.
Karena tak mendapati ayahandanya di lantai dasar akhirnya Ia pun mulai naik ke lantai dua yang terlihat seperti ruang baca yang masih berada di satu ruangan yang sama, yang berada di satu sudut ruangan.
Perpustakaan itu yang lantai keduanya itu berlantaikan marmer berukuran tiga meter yang di sisi-sisi marmer itu di pagari dengan deretan kayu yang diukir setinggi pinggang orang dewasa. Dari lantai dua kita masih bisa melihat keadaan di lantai satu.
Sesekali Pangeran Elang mengamati dari atas sana, ia masih berharap kalau ayahandanya berada di ruangan ini, setidaknya ayahandanya tidak terlihat dari jangkauannya melainkan terhalang oleh ornamen benda penghias ruangan atau hanya terhalang lemari kayu tua yang berada di sudut ruangan.
“Aneh? Sebenarnya kemana Ayahanda? Feeling ku mengatakan kalau Ayahanda ada disini. Tapi…” ujar Pangeran Elang sambil menatap ke bawah, kedua matanya masih mencari sosok ayahandanya yang tak kunjung ia temukan. Hingga ia pun memutuskan untuk pergi dari ruangan itu secara teratur.
Tanpa Pangeran Elang ketahui ternyata sedari tadi Ayahandanya memang berada di ruangan itu, hanya saja beliau berada di ruangan rahasia yang berada di dalam lemari kayu tua yang tadi sempat Pangeran amati.
****
Menyusuri ke dalam lemari kayu tua yang menjadi jembatan ruangan rahasia tempat Raja Denian Patraja kini berada. Sang Raja masih terus menghadap ke sebuah cermin yang berukuran sama tingginya. Beliau fokus menatap sendu ke dalam cermin yang hanya memantulkan bayangannya saja tanpa memantulkan ornamen yang berada di belakang sang raja.
Lalu tiba-tiba saja satu sosok perempuan muncul di dalam cermin padahal saat itu tidak ada seorang pun selain dirinya diruangan itu. Sosok perempuan itu tersenyum dan terlihat sangat anggun dengan gaun putih dan rambut sepinggang yang terurai rapih.
Melihat senyumannya membuat Raja Denian ikut mengeluarkan senyumnya, seolah memang kehadiran perempuan itu yang ingin ia lihat. Tangan kanannya pun hanya bisa menyentuh permukaan cermin seolah beliau sedang menyentuh pipi perempuan itu, tatap matanya perlahan nanar seolah menahan tangis yang masih bisa beliau tahan.
Sedangkan sang perempuan yang berada di dalam cermin hanya terdiam mematung, tersenyum ramah dan tak henti memandangi Raja Denian tanpa bersuara. Keduanya terasa sangat dekat tetapi tidak bisa saling melepas rindu.
“Istriku. Apa kamu serius dengan surat itu,” raja Denian menjeda ucapannya dengan tangan kanan yang masih mengelus cermin yang ada di depannya seolah ia sedang mengelus pipi perempuan itu. Sedangkan sang perempuan hanya terus tersenyum seolah tak tahu perasaan campur aduk yang saat ini tengah Raja Denian rasakan.
“Apakah aku sanggup untuk membiarkan putra kita pergi? Aku takut Putra kita tidak kembali seperti mu istriku,” nada suara sang raja terdengar pilu berbanding terbalik dengan senyum manis perempuan itu yang bukan lain adalah sosok Ratu Larisa.