Peri Lalu tidak habis pikir dengan Pangeran Elang. Ia tau kalau Pangeran Elang itu sebenarnya sudah tau kalau ada niat tersembunyi dari Ratu Malataka terhadap pangeran. Ia juga sering mewanti-wanti pangeran untuk lebih berhati-hati tetapi pangeran tidak terlalu mendengarkannya.
"Pangeran kenapa kau ini? Kenapa pangeran meminum teh itu. Teh itu. Teh yang tadi pangeran minum itu mengandung racun pangeran," ujar Peri Lalu seraya terbang mengikuti pangeran yang hendak duduk di kursinya untuk meneruskan membaca buku.
Tetapi pangeran hanya tersenyum menatapnya lalu berkata, "Sudahlah tidak apa. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Lagi pula aku tidak bisa menolak pemberian Ibunda Mala."
"Terserah pangeran sajalah. Sulit sekali pangeran dibilanginnya. Iya aku tau kalau pangeran itu berbeda. Tapi namanya racun kalau terus menerus dikonsumsi akan menampakkan bahaya juga pangeran. Bagaimana kalau sewaktu-waktu kekuatan pangeran tidak sanggup lagi menahan racunnya. Bahaya pangeran," ujar Peri lalu lagi yang kini terduduk di hadapan Pangeran Elang. Ia tampak sekali khawatirnya sedangkan berbanding terbalik dengan pangeran Elang yang hanya terus membaca tetapi juga mendengarkan Peri Lalu.
Peri Lalu duduk di atas tumpukan buku. Kedua tangannya sengaja ia lipat seolah memberi tahu kalau ia sedang menahan kesal. Mulut mungilnya juga cemberut tetapi pikirannya tidak berhenti memikirkan sesuatu sedangkan Pangeran Elang hanya tersenyum saja sambil terus menapaki buku tebal yang saat ini sedang pangeran baca.
"Pangeran.." suara peri lalu terdengar lagi seolah meminta pangeran untuk mendengarkannya.
Pangeran Elang yang paham akan itu akhirnya lebih memilih menutup bukunya lalu pangeran memperhatikan Peri Lalu seraya berkata, "Hemmm. Ada apa Lalu?"
"Kenapa pangeran selalu meminum apa yang Ratu Malataka berikan kepada pangeran padahal pangeran sudah tahu kalau minuman itu ada racunnya."
Pangeran Elang sedikit mengangkat alis kanannya seolah bingung dengan pertanyaan yang selalu saja diucapkan oleh Peri Lalu.
"Bukan kenapa-kenapa. Em… Baiklah anggap saja kalau aku menolak mengerti akan apa yang pangeran lakukan saat ini…"
Pangeran Elang masih tetap terdiam dan kali ini hanya tersenyum sambil mendengarkan perkataan peri lalu.
"Tetapi. Bisakah pangeran peduli terhadap diri pangeran sendiri? Rasanya tuh gak habis pikir saja. Ini racun lohh pangeran bukan gula-gula permen."
Pangeran Elang nampak berfikir. Ia terdiam selama tiga detik sebelum menyampaikan pendapatnya.
"Bukannya aku tidak peduli dengan diri ku sendiri. Emmm gimana ya jelasinnya. Ya karena dia itu ibunda ku juga. Aku harus menghargai beliau seperti aku menghargai ibunda ku dan bunda Patmala."
"Ini racun pangeran. Kau tahu benar akan itu. Kenapa gak pangeran laporkan saja kepada Raja. Jika terus dibiarkan seperti ini bisa bahaya pangeran."
Lagi-lagi Pangeran Elang hanya tersenyum yang tak bisa di pahami oleh peri lalu.
"Aku belum ceritakan sesuatu pada mu lalu. Tunggu sebentar..."
Pangeran Elang baru saja beranjak dari duduknya bersamaan dengan kedatangan Pangeran Patra yang setengah tersengal karena habis berlari.
Pintu perpustakaan yang terbuka secara mendadak karena Pangeran Patra tadi membuat Peri Lalu terkejut dan spontan bersembunyi di balik tumpukan buku yang tadi ia duduki.
***
"Patra ada apa?" Tanya Pangeran Elang yang berjalan menghampiri adik laki-lakinya yang masih ada di ambang pintu.
"Ka Elang. Kaka dicari Ayahanda."
Pangeran Elang terdiam sejenak karena tidak biasanya Ayahanda memanggilnya apa lagi kali ini Pangeran Patra yang menyampaikan bukan Penasehat Jong atau Penasehat Munawar.
"Ayahanda? Ada apa?" ucap Pangeran Elang bertanya sendiri.
Kini ia pun menunduk seolah mensejajarkan tinggi dengan adiknya yang masih kecil sambil mengelus rambut Pangeran Patra, pangeran Elang pun bertanya "Ada apa Ayahanda mencari Kaka?"
"Entah. Tadi Patra gak sengaja dengar. Sekarang Paman Jong mungkin sampai. Tadi Patra berlari sebelum Paman kemari. Patra tau Ka Elang ada di sini."