"Elang. Putraku bangun nak. Ini ibunda."
Suara lembut itu seketika membangunkan Pangeran Elang dari tidurnya. Pangeran sudah terbangun tetapi belum membuka kelopak matanya. Pangeran tidak ingin merasa senang dulu kalau ia baru saja mendengar suara Ibundanya.
Pangeran Elang mengingat-ingat kalau tadi dirinya sedang berada di ruangan rahasia bersama Ayahanda dan ia kira tadi itu jatuh pingsan, pangeran sadar kalau saat ini dirinya sudah berada di kamarnya karena ia mencium aroma kamarnya yang sangat khas dan sangat ia sukai.
"Aku takut. Apa itu benar suara ibunda. Suaranya sama seperti yang di ruangan Ayahanda. Apa aku harus membuka mata ku? Atau…."
Keraguan terus menyelimuti pikiran pangeran Elang. Hingga ia mendengar suara peri lalu yang terdengar jelas di telinganya.
"Pangeran bangun. Ibunda Pangeran menyuruh pangeran untuk bangun. Bagaimana kalau nanti ibunda pangeran marah. Pasti sangat mengerikan pangeran. Bangun pangeran."
Di menit ke lima pangeran Elang masih sulit untuk menerka-nerka apa lagi memahami kondisi dan situasi saat ini. Ia menjadi bingung sendiri kenapa peri lalu berbicara demikian.
"Ibunda yang mana? Suara itu suara bunda ku. Bukan suara bunda ratu Patmala apa lagi bunda ratu Malataka."
Barulah di menit ke sepuluh pangeran Elang memutuskan untuk membuka matanya secara perlahan, anehnya ia merasa sedikit pusing di kepalanya yang tidak tau apa penyebabnya.
"Ahhh," ringis pangeran Elang sambil tangan kirinya menyentuh kepalanya yang sakit sedangkan tangan kanannya membantu menyangga tubuhnya untuk duduk bersandar pada kayu penyangga tempat tidurnya. Pangeran Elang sempat melihat peri lalu yang terbang menjauhinya yang tadi ternyata peri lalu memang bersuara dekat di telinga kiri pangeran.
"Pangeran… Mana yang sakit?" ucap peri lalu khawatir, ia tak berhenti terbang di sekitar pangeran bahkan tangan mungilnya seolah berusaha menyentuh kepala pangeran Elang.
"Pusing sedikit," keluh pangeran Elang memberi tahu kondisinya kepada peri lalu.
"Sepertinya kau terbentur sangat keras pangeran."
"Terbentur?" tampak pangeran Elang masih bingung akan situasinya. Ia banyak berfikir sehingga kepalanya terasa semakin pusing.
"Aduh… Kepala ku."
"Putraku. Apakah sangat pusing. Sini ibunda lihat." Ratu Larisa tiba-tiba saja langsung membawa pangeran Elang dalam dekapannya, beliau mengelus lembut rambut Pangeran Elang terlihat pula kalau dirinya sangat mengkhawatirkan akan keadaan pangeran Elang.
"Putraku sayang. Seharusnya kau dengarkan perkataan ibunda. Kau malah kekeh untuk memanjat pohon mangga itu."
"Tunggu. Pohon mangga? Kapan aku memanjatnya? Apakah ini hanya mimpi." Pangeran Elang lalu seolah mejam-mejamkan kelopak matanya guna memastikan tetapi yang ia dapati hanyalah sama saja.
"Ini bukan mimpi…" Pangeran elang pun mengembangkan senyumnya, "Apa ini sungguhan. Ibunda? Aku bisa merasakan kehangatannya. Apakah ini nyata? Ku harap kali ini nyata bukan mimpi."
Ratu Larisa pun mengurai dekapannya lalu mengelus lembut rambut Pangeran Elang seraya berkata, "Maafkan ibunda Nak. Ibunda lalai menjaga mu. Kalau saja bunda…."