Sudah tiga puluh menit berlalu Elang menghabiskan waktunya untuk membaca buku di ruang baca perpustakaan alam semesta sejak kedatangannya yang sangat tiba-tiba melalui portal kasat mata.
Setelah mendapat penjelasan dari peri ketua hingga Elang memutuskan untuk tinggal lebih lama sembari membaca sepotong buku yang masih di dalam genggamannya saat ini sembari menunggu portal kasat mata terbuka kembali dan ia bisa kembali ke dunia paralel tempat ayah kandungnya tinggal.
Tadinya Elang ingin melanjutkan kembali membaca buku milik ibundanya yang ia yakini pasti sudah bertambah halaman belakangnya atau bisa jadi sudah tidak akan bertambah lagi halamannya, elang merasa perlu untuk mengecek buku itu karena jika halaman buku itu masih bertambah itu pertanda masih ada harapan kalau ibundanya masih bernafas entah berada di dunia mana di benua mana.
Tetapi tanpa tak terduga. Ia malah menemui buku milik ayah kandungnya terjatuh dari deretan rak yang juga terdapat buku milik ibundanya. Sempat ragu kenapa buku itu bisa tiba-tiba ada disana bahkan seolah sengaja menunjukan diri agar bisa ia baca. Ia masih ingat kalau semula terakhir kali ia membaca deretan rak itu tidak menemukan buku milik ayahnya ada disana. Bukunya masih sangat tipis sama seperti buku ibundanya yang hanya ada dua ratus halaman.
Tetapi setelah di baca sama persis seperti buku ibundanya yang nyaris tak hingga jumlah halamannya. Bahkan Elang sudah sampai di halaman ke lima ratus yang isi dari bab itu berisikan tentang obrolan pada malam itu. Malam saat ayahnya berbicara empat mata dengan ayahandanya.
Baru membaca judul babnya sudah cukup membuat Elang penasaran, "Penyesalan yang Telah Berlalu, "ulangnya mengulang judul bab.
Seketika elang jadi ragu harus melanjutkan bacanya yang sudah kepalang tanggung itu atau memilih jangan membaca, lebih baik ia tidak tau dari pada ikut merasa menyesal seperti kalimat dari judul bab itu.
Tapi karena rasa haus yang tak bisa ia bendung karena terlalu penasaran akhirnya Elang menyusuri kalimat demi kalimat yang ada di bab terakhir itu setelah menarik nafas dan membulatkan perasaannya agar tak gemetar karena terlalu dimakan ragu.
Tertegun sesaat bahkan sering tertegun dalam lamunan yang kerap kali ia lakukan saat menyusuri bab terakhir pada buku milik ayahnya. Seolah tak habis pikir, kesal tetapi juga perasaan yang sulit ia artikan bercampur menjadi satu.
Ingin kesal rasanya sudah sangat percuma. Bagaimana pun ia tidak bisa dan tidak seharusnya merasa kesal apalagi jengkel dengan seseorang yang selama ini telah merawatnya dengan sangat baik.
Seketika ia merasa sedih untuk ayahnya. Ia tidak tau betapa rasa kecewa yang ayah kandungnya rasakan di saat hari itu. Ia jadi ingat saat ayahnya pergi begitu saja setelah berucap memberikan waktu lebih lama untuknya berbicara melepas rindu kepada ayahandanya.
Pasti sangat sulit rasanya dan ia jadi tau rasa sesak yang hari itu sempat ia rasakan di malam itu mungkin terjadi karena ini. Bukan tanpa alasan yang semula ia duga.
"Jadi ini sebabnya."
"Ayah. Apa kau baik-baik saja?" Kalimat itu ditujukan untuk ayah kandungnya walaupun saat ini sosoknya tidak ada di hadapannya. Elang seperti berbicara dengan angin yang berhembus. Air matanya juga mulai keluar tanpa permisi.