Catatan Penulis.
Beberapa waktu lalu, secara mengejutkan aku menerima sebuah e-mail dari Amerika. Surat itu dibuat oleh seseorang bernama Suzanne yang memperkenalkan dirinya sebagai asisten pribadi Larry Watson.
“Dear Miss...,” surat itu dibuka dengan sopan dengan menyebut namaku dan memperkenalkan si pengirim e-mail. Namun kalimat-kalimat selanjutnya nyaris membuatku terkena serangan jantung.
“Mr. Watson telah membaca karya anda dan berterima kasih karena anda telah menuliskan kisahnya....”
Selama beberapa saat wajahku memanas. Jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Aliran adrenalin terpompa cepat ke seluruh tubuh. Kakiku rasanya tidak sedang menjejak bumi.
Belasan tahun yang lalu, aku sempat melihat sebuah laman web perusahaan Larry Watson lewat pencarian Google. Aku mengirimi sebuah e-mail singkat draf naskah novelku dalam bahasa Inggris yang kuangkat dari kisah nyata hidup Larry dan permohonan izin untuk menuliskannya dengan versiku sendiri.
Aku telah memperoleh izin tersebut. Namun dengan pertimbangan bahwa Larry cukup dikenal di Amerika, maka aku harus menyatakannya sebagai sebuah kisah fiksi dan mengganti nama-nama tokohnya, terutama nama belakang mereka.
Larry tidak menggunakan alamat e-mail pribadinya. Bahkan seluruh surat elektronik yang kuterima saat itu terasa sangat formal dan jelas ditulis oleh sekretarisnya. Namun kemudian kontak kami terputus.
Aku terus menghubunginya. Aku bahkan pernah menghabiskan uangku untuk menelepon langsung ke kantor perusahaannya di New York dan diberitahu bahwa Larry telah mengundurkan diri dari perusahaannya.
Aku patah hati.
Aku mencoba mengorek keterangan dari staf perusahaan tersebut. Tak peduli bahwa pembicaraan telepon yang kulakukan adalah sambungan internasional antar benua yang sangat memakan biaya.
Betapapun aku berusaha mencari informasi lebih jauh –bisa dibilang aku memohon, dengan mengatakan aku menelepon jauh-jauh dari Indonesia- keterangan yang kudapatkan hanyalah Larry memutuskan keluar dari perusahaan karena alasan pribadi, nyaris mendadak. Ia menjual saham miliknya dan menjalani pengobatan di tempat yang dirahasiakan.
Hanya itu informasi yang kudapatkan.
Saat itu naskah novelku telah mencapai dua ratusan halaman dari empat ratus halaman yang kurencanakan. Aku tak tahu bagaimana harus mengakhiri ceritaku karena sumber informasiku tiba-tiba terhenti. Lambat laun aku memupuskan harapan menulis kisah menarik tentang seorang terkemuka yang menjadi mualaf di Amerika.
Aku lantas mengira-ngira kejadian selanjutnya. Mematikan dirinya dalam novelku dan menjadikan dirinya pahlawan bagi Frank. Sejujurnya ending tersebut membuatku menerima banyak e-mail pribadi dari para pembacaku yang bersedih.
Kini, bertahun-tahun sejak naskah tersebut dipublikasikan, aku menerima e-mail ini. Rasanya seperti melihat orang yang bangkit dari kematian.
Aku benar-benar terguncang. Butuh beberapa lama bagiku untuk percaya bahwa Larry ternyata masih hidup, bahkan mengirimkan e-mail padaku lewat orang kepercayaannya. Hal ini bahkan melampaui imajinasiku sendiri.
Dengan satu dan lain cara ternyata doaku terkabul. Beberapa bukuku memang ada di Amerika. Tapi buku itu versi bahasa Indonesia dan tersimpan di islamic center.
Larry rupanya mengenali namaku ketika secara tak sengaja membuka pilihan ebook terbaru di Amazon Kindle.
Ia lantas menghubungi agen naskahku di Singapura, membeli bukuku versi bahasa Inggris, membacanya untuk memastikan ini benar-benar naskah yang kutulis tentangnya, kemudian meminta asisten pribadinya untuk menghubungiku lewat e-mail barusan. Aku memang mengambil penerjemah dan menjual hak terbit digitalku ke sebuah agen di Singapura, yang kemudian memasarkan naskahku ke seluruh dunia. Meski basis mereka sendiri sebenarnya di Eropa dan Amerika.
Ada begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Beragam emosi tumpah ruah tanpa mampu kujelaskan.
Dalam e-mail itu juga disebutkan pendapat pribadi Larry terhadap karyaku. Intinya, ia tidak keberatan dengan apa pun yang kutulis, termasuk endingnya, karena menganggap itu hanyalah kisah fiksi yang sebagian diangkat dari kisah hidupnya. Ia hanya merasa penggambaranku tentang dirinya terlalu sempurna. Sesungguhnya ia tidak merasa sebaik itu.
Sebuah undangan pertemuan di akhir e-mail itu membuatku seolah keluar dari tubuh.
“Mr. Watson akan ada dalam sebuah perjalanan ke kawasan Asia. Beliau mengundang anda untuk bertemu secara langsung, mengobrol, dan mungkin meluruskan beberapa hal...,” aku masih tak percaya membaca kalimat itu. “Seluruh biaya akan ditanggung....”
Aku tercenung beberapa saat. Nyaris gemetar membayangkan diriku akan bertemu dengan tokoh yang kutulis di dunia nyata. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Satu hal yang pasti, aku harus bersiap menulis naskahku kembali.
***
Tadinya kupikir Larry akan berkunjung ke Bali, atau mungkin Singapura. Namun surat eletronik Suzanne mengatakan bahwa kami akan bertemu di Jepang. Aku menduga bahwa ini ada hubungannya dengan Watson Company yang bergerak di bidang teknologi.
Suzanne memintaku membuat jadwal perjalanan selama seminggu, pertengahan bulan depan. Lima hari di antaranya untuk menemui Larry. Dia menanyakan anggaran dan aku balik bertanya apakah itu termasuk tiket pesawat. Suzanne bilang ia akan mengurus tiketnya.
Dengan malu-malu aku mengirimkan anggaran. Seluruhnya sepuluh seribu dolar untuk penginapan dan tiket JR. Nama penginapan dan tarifnya kusertakan langsung dari situsnya. Kebanyakan kamar privat sederhana atau apartemen. Suzanne menanyakan akun paypal-ku, kemudian mengirim dua kali lipatnya serta melarangku memesan penginapan sendiri. Aku menurut.
Belakangan aku tahu bahwa hotel dan resort tempatku menginap sudah dibayar. Aku mengiriminya e-mail dan Suzanne mengatakan dua puluh ribu dolar itu hanya untuk uang saku, kalau-kalau aku perlu membeli sesuatu. Larry menyuruhnya dan ia hanya mentransfer.
Aku tercenggang. Ini terlalu berlebihan. Aku menerima tiket, akomodasi dan uang saku dari orang asing yang bangkit dari kubur. Duduk manis dengan berbagai hal yang diurus orang-orang kepercayaan Larry sendiri. Aku mengerti uang itu mungkin tidak berarti banyak bagi Larry. Mungkin penginapan dan anggaran yang kuajukan tidak sesuai atau terlalu rendah dari standard hidupnya.
Dua puluh ribu dolar utuh dalam akun paypalku dan aku terkesima.
Bukan berarti aku tidak senang.
***
Dalam kamarku yang sempit aku seolah kehilangan akal sehat. Baju-bajuku tertebaran di lantai. Beberapa terlipat di atas dipan. Koperku dalam keadaan terbuka. Aku sering bepergian namun kini aku kesulitan memutuskan barang bawaanku. Pertemuan ini seharusnya istimewa sehingga membuatku begitu gugup.
Kalimat demi kalimat dalam e-mail Suzanne nyaris kuhapal. Aku sangat cemas membayangkan pertemuanku nanti. Rasanya seperti tidak nyata. Aku tahu wajah Larry karena fotonya beredar luas di internet sebagai pengusaha ternama. Tapi itu belasan tahun lalu sebelum ia menghilang tanpa jejak.
Aku menghela napas. Kubuka kembali e-mail dari Suzanne. Kubaca lagi untuk entah yang ke berapa puluh kalinya.
“Ini nyata,” aku berkata pada diriku sendiri. Bertahun-tahun menulis novel, belum pernah aku mengalami hal semacam ini. Sebagai penulis, aku harus membaca beratus-ratus buku sebagai referensi demi menyelesaikan naskah yang kutulis sendiri. Ini sama seperti mendaki gunung, kadang-kadang aku berpikir demikian. Kau harus melewatinya selangkah demi selangkah untuk mencapai puncak. Sebagai pembaca aku harus membaca kata demi kata dan bukannya berbuat curang langsung membaca bagian akhirnya.
Mungkin ini sama seperti pekerjaan detektif. Kau harus meneliti semua data. Tidak ada yang boleh terlewatkan.
Jadi saat aku tidak tahu harus menulis apa yang sesungguhnya terjadi sementara kontakku dengan Larry terputus, aku lalu mengarangnya. Sekarang Larry menghubungiku. Berkata mungkin perlu meluruskan beberapa hal. Ya ampun, apa yang telah kulakukan? Apakah aku harus meminta maaf pada dunia?
Ketika sebuah tiket pesawat pulang pergi serta e-mail berisi jadwal perjalananku ditawarkan, aku mengiyakan dengan rasa penasaran.