The Writer and The Detective (L.A. The Detective 2)

Nur Baiti (Hikaru)
Chapter #2

Pertemuan di Jepang

Okada mengantarku ke sebuah villa yang cukup besar. Katanya villa itu memiliki 6 kamar. Tempat itu sering disewa keluarganya jika mereka berwisata ke sini. Okada kenal baik dengan pemiliknya. Sayangnya Okada harus kembali ke Tokyo sore itu juga. Jadi ia mengantarku ke tempat yang kami tuju, naik ke lantai 2 seperti rumah sendiri, kemudian berpamitan padaku setelah sebelumnya mengatakan kepadaku bahwa Larry akan segera turun.

Okada memberiku dua buah kartu nama. Kartu namanya dan kartu nama Kenji. “Hubungi kami lagi kapan-kapan ya?” pintanya.

Aku menerima kedua kartu nama itu dengan senang hati. “Kau tidak bertemu dengan Larry?” tanyaku.

Okada tertawa. “Kami sudah sering bertemu,” jawabnya.

Jadi setelahnya aku dibiarkan sendirian.

Aku semakin gugup. Tanganku terasa dingin. Sebagian karena cuaca, tapi lebih lagi karena emosiku. Ketika langkah-langkah kaki terdengar dan pintu di depanku terbuka. Aku nyaris tidak bernapas.

Di depanku berdiri seorang laki-laki berusia sekitar 60 tahun. Sedikit melenceng dari bayanganku tentang Larry atau dari apa yang kutuliskan. Tapi rambutnya pirang, matanya sebiru yang kutuliskan dan senyum khas seperti dalam foto yang kukenal menyakinkanku bahwa ia orang yang benar. Wajahnya masih tampan, dengan kewibawaan yang membuat siapa pun akan merasa segan dan secara tidak sadar memperbaiki sikap.

“Larry...?” aku bertanya ragu-ragu. Seharusnya itu memang dia. Mata birunya seperti foto terakhir yang kuingat. Setidaknya tulisanku tentang sosoknya mendekati kebenaran. Aku cukup bangga dengan hal itu.

“Inilah aku,” ia tersenyum.

Aku masih berdiri di depannya. “Uum.., kau sendirian?” tanyaku, masih merasa canggung.

“Mary akan segera turun. Nah itu dia.” Larry menunjuk dengan matanya. “Kau tentu kenal istriku, setidaknya di bukumu,” ia tersenyum.

Seorang wanita cantik tersenyum kepadaku dan mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya erat. “Kau Mary Olsen?”

Wanita itu tertawa. “Sudah lama menjadi Mary Watson, tentu.” Ia tersenyum. “Ini penulis bukumu itu?” tanyanya pada Larry. Larry mengangguk.

“Boleh aku memelukmu?” aku berpaling pada Mary. “Aku tak mungkin memeluk Larry.”

“Tentu saja,” Mary lebih dulu mendekapku. Mendadak aku merasa bertemu sahabat lama, seseorang yang kurindukan. Tanpa sadar aku menangis. Aku melihat Larry memperhatikan kami berdua.

“Maaf,” aku melepaskan pelukan Mary sambil cepat-cepat menghapus air mataku. “Aku tidak tahu kenapa aku begitu sentimentil.”

Keduanya memandangku penuh pengertian.

Larry mendadak seperti teringat sesuatu. “Ya ampun, di mana tata kramaku?” ia menunjuk kursi di dekatnya. “Silakan duduk, Miss.”

Aku duduk di hadapan keduanya. “Ternyata kau lebih tua,” ucapku spontan.

“Dan kau bukan seorang bocah.”

“Aku membayangkan dirimu jauh lebih muda. Kukira kita seumur.”

“Aku tidak bisa menghentikan proses penuaan.” Larry tertawa.

Mendadak aku merasa malu karena telah kelepasan bicara. Tapi Larry tidak tampak tersinggung. Belasan tahun berlalu sejak kontak kami yang terakhir. Rasanya cukup wajar jika aku menuliskan Larry hanya berdasarkan apa yang kuingat.

“Aku rasa aku akan membeku. Aku hampir menyangka ini tidak benar-benar nyata. Maksudku..., aku, kau..., kita di sini. Bertemu karena sebuah buku. Ini hal yang baru bagiku,” aku tertawa untuk melepaskan ketegangan. Aku mengipas-ngipaskan kedua tanganku di wajah seolah-olah itu akan bisa langsung menghentikan air mata.

“Ini juga hal yang baru bagi kami,” kata Larry.

Mary menepuk-nepuk tanganku. “Santai saja,” katanya sambil tersenyum ramah. Aku langsung menyukai Mary saat itu juga.

Akhirnya setelah beberapa saat, aku berhasil menguasai diri. “Kau masih hidup,” aku menatap Larry di depanku.

“Aku harap aku tidak mengecewakanmu.”

“Oh tidak, tentu saja. Maksudku, aku senang sekali kau selamat. Hanya saja ini sangat mengejutkan.” Aku menatap Larry kembali. “Terima kasih untuk semuanya. Ini rasanya agak berlebihan. Maksudku, semua yang kau lakukan ini....”

Larry mengibaskan tangannya. Tidak ingin membahas kebaikannya lebih jauh.

“Bagaimana kau bisa tahu apa yang kusuka?” aku terkesima.

“Itu mudah,” Larry mengeluarkan ponselnya. “Google.”

Lihat selengkapnya