Malam sudah larut ketika Mary dan Larry menyudahi ceritanya. Suasana Kamikochi sangat sepi dan aku mulai kedinginan. Kami bertiga sepakat untuk menyudahi sesi malam itu dan melanjutkannya besok pagi. Aku membutuhkan waktu untuk mewawancarainya sebagai bahan tulisanku.
Udara pagi Kamikochi menyambut kami bertiga ketika keluar dari villa. Kami berjalan melintasi hutan selagi belum banyak pengunjung. Mary sibuk memotret dan meninggalkan aku dan Larry di belakang.
“Aku tahu kenapa kau memilih tempat ini,” aku memandang sekeliling.
“Oh ya? Kenapa?” Larry menantangku.
“Tempat ini cocok untuk sembunyi.”
Larry tertawa. Aku belum pernah melihatnya tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Tiba-tiba aku merasa malu. Seharusnya aku memberikan jawaban yang lebih baik dari ini. “Tempat ini mengingatkanmu pada Wyoming, ya kan?”
Larry sudah berhenti tertawa. Sekarang ia menatapku dan menganguk sambil tersenyum. “Kau benar, tempat ini indah seperti Wyoming. Meskipun aku lebih suka ranch dan kuda-kudaku di sana. Kau juga benar tempat ini cocok untuk sembunyi. Tapi sebenarnya..., ini tempat yang bagus untuk memulihkan diri.”
“Apakah kau baik-baik saja?” Mendadak aku khawatir.
Larry tersenyum lagi dan mengangguk sebagai jawaban.
“Sebenarnya kau berasal dari mana?”
“Kakek buyutku berasal dari Inggris.”
Aku sempat berpikir jangan-jangan kakek buyut Larry termasuk orang-orang yang pertama datang ke Amerika dan menjajah suku Indian. Tapi kupikir komentar seperti itu tidak sopan. Jadi aku diam saja.
Kami meneruskan perjalanan. Larry tiba-tiba memperlambat langkah, membiarkan istrinya jauh berada di depan. Ia menatapku serius. “Harus kuakui, hadiah-hadiah itu sedikit berlebihan.”
“Bagaimana kalau kukatakan itu keramahan khas Asia?”
“Tetap berlebihan.”
“Tamu adalah raja?”
“Kau tamuku.”
“Kalau begitu kau juga berlebihan. Tiket dan penginapan, tur serta uang yang kau kirimkan, punya pendapat tentang itu?”
“Jadi kita impas?”
Aku mengangguk. “Ya, satu sama.”
***
Aku merasa bahwa Mary sengaja memberikan waktunya untukku agar bisa bercakap-cakap dengan Larry lebih banyak. Terbukti selama jalan-jalan pagi kami, ia lebih sering berada di depan dan tidak mau mengganggu. Ia menyibukkan dirinya untuk memotret sepanjang perjalanan. Sesekali ia menyapa orang yang berpapasan dengannya. Beberapa kali ia berbalik. Mengatur kameranya sedemikian rupa, menyetel pengatur waktu dan kami berfoto bertiga. Aku juga memotret dengan ponselku. Tapi kurasa tidak sebanyak Mary. Aku lebih fokus mengumpulkan bahan tulisanku.
Kami bertiga sampai kembali ke villa. Mary berpamitan pada kami berdua untuk mandi. Aku dan Larry duduk di beranda villa meneruskan percakapan. Aku mengatakan pada Larry bahwa kemungkinan bukuku berikutnya akan jauh lebih tipis.
“Semakin tipis bukunya semakin sedikit omong kosongnya.”
“Stephen King,” tebakku.
Larry tersenyum. Jawabanku tepat.
“King mungkin benar,” kataku. “Tapi kupikir omong kosong itu yang membuatnya lebih menarik. Pembaca senang dibohongi dan mereka rela membayar untuk itu.”
“Tidak,” Larry membantahku pelan. “Mereka senang diyakinkan. Mereka ingin agar kau menyakinkan mereka bahwa yang kau tuliskan itu nyata. Bahwa semua itu benar-benar terjadi. Pembaca itu pintar.”
Aku merenungkan hal itu beberapa saat. Gagasan itu terdengar masuk akal. “Kau polisi dan kau memberitahuku secara tepat bagaimana seharusnya menulis novel.” Aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku.
Larry mengangkat bahu. “Aku mendapat nilai bagus dalam pelajaran sastra.”
Dengan kemampuan otaknya aku yakin ia mendapat nilai bagus dalam semua mata pelajaran. “Kurasa kau bisa mulai menulis bukumu sendiri,” ucapku sungguh-sungguh.
“Aku tidak ingin mengurangi jumlah pembacamu,” selorohnya.
Aku meringis. “Begini saja. Kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi dan aku akan menambahkan ‘omong kosong’,” aku menggerakkan tanganku sebagai isyarat memberi tanda kutip. “Kita sebut saja hal itu imajinasi dan siapa tahu aku bisa membuatnya menjadi karya yang menarik?”