Malam itu, desa masih riuh dengan gosip tentang duel Hiroshi melawan Aria.
Banyak yang kagum, banyak juga yang heran bagaimana “makhluk langka” itu bisa selamat hanya dengan komik BL.
Hiroshi duduk di balkon rumah desa, menatap bintang dengan lesu.
“Kenapa semua orang menaruh ekspektasi besar padaku… padahal aku bahkan nggak bisa push-up sepuluh kali?”
Angin malam bertiup, membawa aroma bunga.
Tiba-tiba, suara pintu berderit terdengar.
Aria muncul dengan wajah kesal, membawa dua cangkir teh.
“Hei, jangan bengong terus. Minum ini.”
Hiroshi mengangkat alis. “Apa ini? Racun?”
Aria mendelik. “Kalau aku mau meracunimu, aku nggak akan repot bikin teh.”
Hiroshi menerima cangkir itu dengan ragu.
Saat meneguknya, ia terkejut. “Eh… ini enak banget?”
Aria menyilangkan tangan, tersenyum tipis. “Tentu saja. Aku ksatria, tapi aku juga bisa membuat teh.”
Hiroshi menatapnya. "Kenapa ekspresi dia jadi agak manis kalau lagi nggak marah-marah…" dalam hati.
Hening sejenak.
Aria tiba-tiba batuk kecil. “Jangan salah paham! Aku hanya… nggak mau kau mati kehausan. Itu saja.”
Hiroshi nyengir. “Tsundere alert.”
Aria langsung memerah. “A-apa maksudmu itu?!”
Hiroshi menahan tawa. “Nggak, nggak. Nggak penting.”
Aria mendengus, menyesap tehnya sendiri dengan kasar.