Pagi itu, Hiroshi terbangun di kamar besar yang dipenuhi dengan aroma bunga lavender. Ia sempat lupa kalau dirinya sudah tinggal di dunia lain. “Ah… mimpi aneh… oh, tunggu, ini bukan mimpi,” gumamnya sambil mengucek mata.
Di depan pintu, suara gaduh sudah terdengar. Aria mengetuk dengan keras, “Bangun dasar lelaki malas! Hari ini aku akan buktikan kalau aku istri yang paling pantas untukmu!”
Lilia muncul dari balik pintu dengan kacamata setengah melorot. “Tidak usah ribut, Aria. Aku sudah menyiapkan sarapan bergizi lengkap dengan teori cinta yang aku riset semalaman.”
Selena pun tidak mau kalah, masuk dengan wajah dingin khas bangsawan. “Aku membawa teh herbal terbaik dari istana. Jika kau minum ini, Hiroshi, kau akan merasa hanya aku yang bisa menenangkanmu.”
Hiroshi masih setengah ngantuk, lalu hanya berkata lirih, “Aku cuma mau makan roti isi cokelat…”
Ketiga cewek itu serempak menoleh dan langsung ribut sendiri. “Kau kira roti cokelat bisa mengalahkan sarapanku!?” “Hmph, ilmiah lebih penting!” “Lelaki bodoh, teh herbal lebih bernilai!”
Hiroshi hanya bisa menutup telinganya sambil bergumam, “Kenapa semua orang di sini berisik banget… di dunia BL nggak gini deh.”
Hari itu desa mengadakan festival kecil. Hiroshi diajak ikut serta, padahal ia lebih ingin tidur di perpustakaan.
Aria mencoba menarik tangannya sambil berkata, “Kau harus melihat festival pedang! Kau bisa mendukungku saat duel!”
Lilia mencegahnya dengan memeluk lengan Hiroshi, “Tidak! Festival pengetahuan lebih penting! Ada stand buku langka, Hiroshi!”
Selena maju dengan elegan, “Festival bangsawan lebih berkelas. Kau akan duduk di kursi kehormatan bersamaku.”
Hiroshi jadi seperti kue gratis yang diperebutkan anak-anak kecil. “Tolong… jangan tarik-tarik bajuku… ini bisa robek…”
Di tengah festival, ada lomba memasak. Tentu saja, masing-masing cewek ingin menunjukkan keahlian mereka.
Aria menyalakan api kompor sihir tapi langsung gosong. “Ini… ini seharusnya steak, bukan batu bara!”
Lilia membuat sup dengan penuh teori, menghitung bahan baku dengan teliti, tapi rasanya seperti ramuan kimia. “Secara teori… harusnya enak.”
Selena dengan tenang membuat hidangan mewah penuh bumbu istana. Tapi porsinya terlalu kecil. “Satu gigitan cukup untukmu, Hiroshi.”
Hiroshi mencoba masing-masing. Mulutnya hampir terbakar, lidahnya pahit, dan perutnya masih lapar. Ia pun hanya berkata: “Aku tetap suka roti cokelat…”
Malam harinya, mereka menonton kembang api. Hiroshi merasa agak damai, meskipun cewek-cewek itu terus rebutan posisi duduk di sebelahnya.
Aria berkata, “Aku duluan! Aku ksatria yang akan selalu melindunginya!”
Lilia memotong, “Aku yang paling memahami perasaannya lewat ilmu psikologi cinta!”