Malam itu, Hiroshi tidak bisa tidur. Di kepalanya terus terngiang ucapan Selena soal “penyakit misterius” yang memusnahkan para pria.
“Kalau benar karena penyakit… kenapa aku bisa baik-baik saja di sini?” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar penginapan.
Dari jendela, bulan biru dunia itu memantulkan cahaya aneh, membuat hatinya gelisah.
Aria yang tidur di ranjang sebelahnya berguling, mendengkur kecil seperti anak kucing.
“Tsundere keras kepala itu bahkan bisa ngorok imut… dunia ini absurd sekali,” bisik Hiroshi.
Besoknya, rombongan mereka berencana mampir ke perpustakaan tua di ibukota. Lilia lah yang paling bersemangat.
“Kita harus mencari sumber sejarah asli, bukan hanya mendengar dongeng politikus,” ujarnya dengan kacamata melorot.
Selena hanya mengangkat bahu. “Kau percaya buku tua berdebu lebih dari ketua desa sepertiku? Aneh.”
Aria ikut menimpali dengan nada mengejek. “Buku cuma membuatmu rabun, kutu buku.”
Lilia membalas cepat, “Daripada otot kosongmu yang cuma bisa mengayunkan pedang, lebih baik otak yang penuh ilmu.”
Hiroshi mendesah panjang. “Ya ampun, kalian berdua kapan sih akur? Rasanya seperti punya dua istri yang terus bertengkar.”
Seketika ruangan menjadi panas. “Istri?!” teriak Aria dan Lilia bersamaan.
Selena terkekeh pelan sambil menatap Hiroshi. “Oh, jadi kamu sudah mulai menerima nasib harem-mu, Hiroshi?”
Hiroshi menutupi wajah dengan bantal. “Bukan itu maksudku, jangan dipelintir!!”
Perjalanan ke perpustakaan berlangsung cukup damai, kecuali Aria dan Lilia yang lagi-lagi berdebat soal siapa yang lebih dekat dengan Hiroshi.
Setibanya di depan gedung tua itu, mereka tertegun. Perpustakaan itu megah, tetapi terlihat sepi dan terbengkalai.
Pilar-pilarnya dipenuhi lumut, jendela kaca patri sudah retak, dan pintunya hampir roboh.
“Astaga, ini perpustakaan atau rumah hantu?” komentar Hiroshi dengan merinding.
“Justru di tempat beginilah rahasia besar terkubur,” jawab Lilia penuh semangat.
Saat mereka masuk, debu tebal langsung menyambut.