Matahari pagi bersinar redup di langit dunia asing itu, ketika Hiroshi, Aria, Lilia, dan Selena memutuskan untuk pergi ke sebuah kuil kuno yang disebut dalam catatan sejarah yang Hiroshi temukan.
“Kuil ini katanya menyimpan rahasia tentang hilangnya kaum pria…” Hiroshi berbisik, mencoba terdengar serius, tapi perutnya malah berbunyi keras karena lapar.
Aria langsung menatapnya sinis. “Kau ini serius nggak sih, dasar mesum banci lemah.”
“Eh, aku kan lapar duluan, Aria-san!” Hiroshi membela diri sambil menggaruk kepala.
Lilia, yang menenteng buku besar, hanya mendesah. “Klasik sekali. Momen serius selalu gagal karena Hiroshi-kun.”
Mereka akhirnya tiba di depan kuil kuno yang ditutupi lumut dan akar besar. Aura magis bergetar di udara.
Pintu kuil itu berat, dihiasi ukiran wanita dengan sayap dewi, membawa obor dan pedang.
“Ini pasti kuil yang dimaksud catatan itu,” ucap Selena dengan nada tenang, suaranya seperti guru sejarah.
Hiroshi menelan ludah. “Kalau aku salah… aku rela dihukum cium sama Aria.”
Aria langsung meninju kepala Hiroshi. “Mati kau!”
Setelah drama kecil itu, mereka mendorong pintu kuil, yang berderit berat lalu terbuka perlahan.
Di dalamnya, udara lembap, cahaya kristal berwarna biru menerangi ukiran-ukiran kuno di dinding.
Hiroshi merinding, bulu kuduknya berdiri. “Kayak dungeon di game RPG, sumpah.”
“Berhenti bercanda, fokuslah,” kata Selena dengan nada tajam.
Mereka berjalan menyusuri lorong panjang. Suara tetesan air menggema.
Hiroshi melihat ukiran yang menggambarkan sosok pria pria, lalu pria pria itu batuk, dengan kulit yang menghitam, dan meninggal.
“Ini… gambaran hilangnya kaum pria?” Hiroshi mendekatkan wajahnya.
Tiba-tiba dinding bergetar, memunculkan tulisan kuno bercahaya.
Lilia buru-buru membaca dengan bahasa kuno yang ia kuasai. “Tulisan ini menyebutkan… kaum pria tidak punah karena penyakit begitu saja.”
Aria terkejut. “Lalu kenapa?”