The X Twin Journey

Dadar Fitrianj
Chapter #1

1. This Feeling

Xari’s POV


Papa bilang, aku punya kembaran. Katanya wajah kami mirip, tapi sekalipun tak pernah aku melihatnya untuk meyakinkanku bahwa kami benar-benar mirip. Bahkan, foto waktu kami bayi pun, tak pernah kulihat. Ketika aku merengek minta bertemu, Papa akan membawaku ke depan cermin kemudian berkata, “Xari, yang di cermin ini adalah kembaranmu, Xara.”

Papa gila!

Jelas-jelas yang ada di cermin itu aku, bukan kembaranku!

Papa bohong!

Aku tahu Papa berbohong perihal kembaranku dan … Mama. Jika memang kembaranku ada, dan Mama masih hidup, kenapa Papa tak pernah sekalipun mempertemukan kami? Beribu alasan Papa utarakan, tapi aku tetap tak percaya dan menganggapnya pembohong. Jadi, anggap saja kembaranku tidak ada, alias aku anak tunggal dan yatim. Meski begitu, aku selalu berharap apa yang dikatakan Papa itu benar adanya. Aku bisa lihat kesungguhan dari mata Papa saat ia mengatakannya.

Tumbuh dan besar dari tangan Papa membuatku menjadi anak yang pemberani. Papa mengajariku cara agar tidak mudah menangis; hal ini Papa ajarkan saat aku merindukan sosok seorang Mama. Jika para princess di dunia dongeng dapat tumbuh dan besar menjadi anak yang begitu manis, dan anggun. Bertutur kata halus dan lembut yang hanya di asuh oleh Ayah mereka, maka aku kebalikannya. Biar aku ceritakan.

Umurku 5 tahun dan sangat kesepian waktu itu. Sangat. Tidak ada yang mau bermain denganku karena aku akan memukul mereka jika menyentuh mainanku atau mengejekku. Ralat. Aku hanya tidak bermain dengan anak perempuan karena, ya, cara mereka bermain berbeda denganku, jadi mereka menganggapku tidak seru hingga label tukang pukul melekat pada diriku. Akhirnya, teman-temanku yang paling banyak adalah anak cowok.

Dengar. Ini adalah ajaran Papa. Kata Papa, "Xari. Jika ada yang mencubitmu tanpa kamu gangguin dia, maka pertama-tama, tanyakan dulu kenapa dia melakukan itu. Jika dia ngelunjak, lawanlah dia sampai ia tak berani mengganggumu."

Jadilah aku si gadis tomboi. Jika kembaranku ada, apakah dia juga tomboi sepertiku? Berapa banyak teman yang dia punya? Mana yang lebih mendominasi, cewek atau cowok? Akan kutanyakan nanti jika suatu saat bertemu.

Pernah sewaktu sekolah menengah pertama, aku menjadi ketua geng terpilih. Isinya? Para murid cowok dari kelas sembilan, kelas tujuh, dan sisanya adalah teman seangkatanku di kelas delapan. Waktu itu, aku tak sempat mengerjakan PR Bahasa Inggris, jadi kuajak teman segengku untuk bolos. Mereka memilih loncat dinding belakang sekolah, tapi itu terlalu biasa. Aku? Tentu saja lewat pagar. Cukup dengan sekali kedipan mata pada Pak Mili, si penjaga gerbang, maka gerbang akan terbuka dengan sangat lebar.

Aku ini perempuan, tidak cocok loncat dinding belakang apalagi loncat pagar.

Pernah atas kenakalanku, Papa mendaftarkanku di pelatihan bela diri. Alasannya sederhana, “Kamu perempuan harus tahu menjaga diri. Papa nggak mungkin sama kamu seharian.”

Gila, ‘kan? Pada kenyataannya, Papa tetap berbohong karena masih mengawasiku 12 jam dan memberi pengawalan super ketat. Ke tempat latihan saja, harus ada seorang bodyguard yang menjagaku, sudah begitu, ia akan tetap menanyakan kabarku. Apakah aku terluka atau cidera atau tidak, dan semacamnya.

Lalu untuk apa semua ini?

Sudah gila, pembohong, over-protective, pula.

Lihat selengkapnya