13 Juno, 1361
Kota Dalia Sebelah Selatan Kenettra Sealand
Beberapa orang membenci kami, menganggap kami pelanggar hukum yang harus digantung.
Beberapa orang takut pada kami, menganggap kami iblis yang harus dibakar hidup-hidup.
Beberapa orang memuja kami, menganggap kami anak-anak para dewa.
Namun, semua orang mengenal kami.
—Sumber tidak dikenal tentang Para Elite Muda
***
Adelina Amouteru
Aku akan mati besok pagi. Setidaknya, itulah yang dikatakan para Inkuisitor ketika mengunjungi selku. Sudah berminggu-minggu aku dikurung di sini—aku mengetahuinya karena selalu menghitung makanan-makanan yang diantarkan untukku. Sehari. Dua hari. Empat hari. Seminggu. Dua minggu. Tiga. Setelahnya, aku berhenti menghitung. Waktu terus berlalu, rangkaian ketiadaan yang sarat berkas-berkas cahaya, keping-keping bebatuan dingin nan basah, serpih-serpih kewarasanku, juga bisikan-bisikan tak beraturan di benakku.
Besok, berakhir sudah waktuku. Mereka akan mengeluarkanku. Aku akan dibakar hidup-hidup di alun-alun pasar pusat, menjadi tontonan. Kudengar, kerumunan orang sudah mulai berkumpul di luar.
Aku duduk tegak, seperti yang selalu diajarkan kepadaku. Punggungku tidak menempel pada tembok. Lama kemudian, baru aku sadar bahwa tubuhku berayun ke depan dan ke belakang lagi. Mungkin agar aku tetap waras. Atau agar tetap merasa hangat. Kusenandungkan lagu nina bobo kuno yang sering dilantunkan ibuku sewaktu aku kecil. Aku berusaha keras meniru suara manis dan lembutnya, tetapi nada-nadaku kasar dan bergetar, sama sekali tidak seperti suara ibuku. Aku berhenti bernyanyi.
Suasana di bawah sini terasa lembap. Air mengalir dari atas pintu sel dan membentuk alur di tembok batu, mengotori cat tembok hijau dan hitam. Rambutku kusam. Kukuku penuh darah dan kotoran. Aku ingin membersihkannya. Tidakkah aneh—satu-satunya hal yang bisa kupikirkan di hari terakhirku hanyalah betapa menjijikkan diriku? Seandainya adik perempuanku berada di sini, dia akan menghiburku dan mencelupkan tanganku ke dalam air hangat.
Aku terus bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja. Dia belum datang menjengukku. Kubenamkan wajah ke kedua tanganku. Bagaimana bisa aku berakhir begini? Namun, tentu saja aku tahu jawabannya. Karena, aku seorang pembunuh.
***
Kejadiannya beberapa minggu silam, pada malam berbadai di vila ayahku. Aku tidak bisa tidur. Hujan dan petir menghantam-hantam jendela kamarku. Namun, bahkan badai pun tidak dapat menenggelamkan suara percakapan di lantai bawah. Ayahku dan tamunya sedang membicarakanku, tentu saja. Setiap larut malam, Ayah selalu membicarakanku. Aku sering menjadi topik pembicaraan di distrik Dalia sebelah timur, kediaman keluargaku. Adelina Amouteru? kata orang-orang. Oh, dia salah satu anak yang selamat dari wabah sepuluh tahun silam. Anak malang. Ayahnya akan kesulitan menikahkannya. Mereka mengatakan itu bukan karena aku tidak cantik. Aku tidak bermaksud sombong, hanya berkata jujur. Perawatku bilang, para lelaki yang mengagumi mendiang ibuku sedang menunggu dengan penasaran, ingin menyaksikan bagaimana kedua putri beliau tumbuh menjadi wanita dewasa. Adikku, Violetta, baru empat belas tahun, tapi sudah menjadi sosok mungil yang sempurna. Berbeda denganku, Violetta mewarisi pesona murni dan kecerahan yang dimiliki ibuku. Violetta biasa mencium pipiku, tertawa, berputar-putar, dan berangan-angan. Sewaktu kecil, kami biasa duduk-duduk di taman, dan dia sering mengepangkan bunga-bunga periwinkle di rambutku. Aku menyanyi untuknya, sementara dia melakukan permainan.
Kami pernah saling menyayangi.
Ayahku biasa membawakan permata untuk Violetta, sementara aku menyaksikan Violetta bertepuk tangan dengan gembira saat Ayah mengalungkan permata itu di lehernya. Ayah sering membelikan Violetta gaun-gaun indah yang datang dari pelabuhan di ujung dunia. Dia biasa membaca dongeng untuk Violetta dan memberi ciuman selamat malam. Dia pun selalu mengingatkan Violetta tentang be-tapa cantik dirinya, betapa Violetta mampu menaikkan derajat keluarga kami dengan pernikahan yang terhormat, betapa Violetta mampu memikat para pangeran dan raja kalau dia mau. Para pelamar telah berbaris untuk meminang Violetta, tapi ayahku meminta mereka bersabar. Mereka tidak bisa menikahi Violetta sebelum gadis itu berumur tujuh belas. Sungguh ayah yang perhatian, pikir semua orang.
Tentu saja, Violetta tidak terbebas dari semua kekejaman ayahku. Ayahku memang sengaja membelikannya gaungaun ketat dan menyakitkan. Dia senang melihat kaki Violetta berdarah-darah gara-gara sepatu sempit bertabur permata yang dia perintahkan untuk dipakai Violetta.
Namun, ayahku tetap menyayanginya, dengan caranya sendiri. Karena, Violetta merupakan investasi baginya.
Aku berbeda. Tidak seperti adikku yang dianugerahi rambut hitam untuk melengkapi mata gelap dan kulit sehat sewarna minyak zaitunnya, aku cacat. Dan, yang kumaksud dengan cacat adalah ini: Saat aku berusia empat tahun, wabah berdarah mencapai puncaknya. Semua orang di Kenettra dengan panik memalangi rumah mereka. Namun, itu tidak berguna. Ibu, adikku, dan aku tetap terkena wabah tersebut. Kau selalu bisa mengetahui siapa saja yang terinfeksi—bintik-bintik aneh muncul di kulit kami. Ram-but dan bulu-bulu mata kami berubah dari satu warna ke warna lainnya. Dan, air mata sewarna darah mengalir dari mata kami. Aku masih ingat aroma wabah di rumah kami, ingat rasa brandy yang membakar mulutku. Mata kiriku sangat bengkak sehingga dokter terpaksa harus mencungkilnya, dengan menggunakan pisau dan tang yang panas membara.
Jadi, ya. Kau bisa bilang bahwa aku cacat.
Tertandai. Sesosok malfetto.
Adikku sembuh dari wabah itu tanpa efek samping, sementara aku mendapatkan bekas luka di mata kiriku. Rambut adikku masih hitam berkilau, tapi warna rambut dan bulu mata-ku berubah perak aneh. Kalau terkena sinar matahari, rambutku akan tampak nyaris putih seperti rembulan di musim dingin. Sebaliknya, dalam suasana gelap, rambutku menjadi kelabu tua, layaknya sutra yang dipintal dari logam.
Setidaknya, nasibku masih lebih baik daripada Ibu. Ibu, seperti halnya semua orang dewasa yang terjangkit, meninggal dunia. Aku masih ingat menangis di kamarnya setiap malam, mengharapkan wabah tersebut merenggut Ayah alih-alih Ibu.
Ayahku dan tamu misteriusnya masih mengobrol di lantai bawah. Rasa penasaran menguasaiku. Aku turun dari tempat tidur, perlahan melangkah ke pintu kamar, lalu membukanya sedikit. Cahaya temaram lilin menerangi selasar di luar. Di lantai bawah, Ayah duduk berhadapan dengan seorang pria. Tubuh pria itu jangkung, bahunya lebar, dengan alis keabu-abuan di pelipis. Rambut pria itu dikucir di tengkuk, membentuk ekor kuda yang pendek. Mantel beledunya berkilau hitam dan oranye dalam siraman cahaya. Mantel ayahku juga terbuat dari beledu, tetapi bahannya sudah menipis. Sebelum wabah berdarah itu menyebar di negara kami, pakaian-pakaian ayahku sama mewahnya dengan milik tamunya. Sekarang? Sulit untuk mempertahankan klien kalau kau punya anak perempuan malfetto yang mencemari nama baik keluargamu.
Dua lelaki itu meminum anggur. Ayah pastilah sedang bersemangat untuk bernegosiasi—dia menyajikan satu dari tong anggur kami yang tersisa.
Kubuka pintu lebih lebar, berjingkat ke selasar, lalu duduk di dekat tangga. Kutekuk kedua kaki dan kutempelkan daguku ke lutut. Ini tempat favoritku. Sesekali, aku berpurapura menjadi seorang ratu yang berdiri di balkon istana, memandang rakyat yang berlutut di hadapanku. Namun sekarang, aku meringkuk seperti biasa. Dan, seperti biasa juga, kututupi bekas lukaku dengan rambut. Tanganku rebah dengan janggal di atas anak tangga. Ayahku dulu mematahkan jari manisku, dan jari itu tidak pernah sembuh seutuhnya. Sampai sekarang pun aku tidak bisa memegang susuran tangga dengan benar.
“Aku tidak bermaksud menghina Anda, Master Amouteru,” kata pria itu pada ayahku. “Anda pedagang dengan reputasi bagus. Tetapi itu cuma masa lalu. Aku tidak ingin terlihat berbisnis dengan keluarga malfetto. Bawa sial, Anda tahu. Hanya sedikit yang bisa Anda tawarkan kepadaku.”
Ayahku tetap tersenyum. Senyum yang dipaksakan untuk transaksi bisnis. “Para kreditur di kota masih bekerja sama denganku. Aku akan membayar Anda setelah pelabuhan ramai lagi. Tahun ini, banyak permintaan sutra Tamoura dan rempah-rempah—”
Pria itu tampak tidak terkesan. “Raja kita bodoh seperti anjing,” sahutnya. “Dan, anjing tidak pantas memerintah negara. Sepertinya, pelabuhan-pelabuhan akan sepi selama bertahun-tahun. Dan, dengan kebijakan pajak yang baru itu, utang-utang Anda pasti akan menumpuk. Mana sanggup Anda membayarku?”
Ayahku bersandar di kursinya, menyesap anggur, lalu mendesah. “Pasti ada yang bisa kutawarkan kepada Anda.”
Pria itu mengamati anggurnya dengan saksama. Garisgaris keras wajahnya membuatku merinding. “Beri tahu aku tentang Adelina. Berapa banyak yang sudah melamarnya?”
Wajah ayahku memerah, seolah-olah anggur itu belum cukup membuat wajahnya merona. “Lamaran untuk Adelina masih sedikit.”
Pria itu tersenyum. “Tidak ada yang tertarik pada aib kecil Anda, kalau begitu.”
Bibir ayahku terkatup rapat. “Tidak sebanyak yang kuinginkan,” akunya.
“Apa yang orang-orang katakan tentangnya?”
“Para pelamar itu?” Ayahku mengusap wajah, mengakui bahwa kecacatanku membuatnya malu. “Mereka mengatakan hal yang sama. Ujung-ujungnya selalu kembali pada ... tandanya. Aku harus bilang apa, Sir? Tak seorang pun ingin anaknya dilahirkan oleh seorang malfetto.”
Pria itu mendengarkan, lalu mendesah dengan simpatik.
“Anda sudah mendengar kabar terbaru dari Estenzia? Dua pria bangsawan berjalan pulang dari opera, lalu ditemukan hangus terbakar.” Ayahku segera mengubah arah pembicaraan, berharap orang asing itu mau mengasihaninya. “Ada bercak-bercak gosong di dinding jalan. Tubuh mereka meleleh dari dalam. Semua orang takut kepada malfetto, Sir. Bahkan, Anda pun enggan berbisnis denganku. Kumohon. Aku sungguh tidak berdaya.”
Aku tahu maksud ayahku. Dia mengacu pada jenis malfetto tertentu—anak-anak yang sangat jarang keberadaannya, yang sembuh dari wabah berdarah itu dengan efek samping yang jauh lebih parah daripada aku. Mereka memiliki kemampuan-kemampuan menakutkan yang tidak seharusnya ada di dunia. Semua orang membicarakan malfetto jenis ini dengan suara berbisik. Sebagian besar takut kepada mereka, menyebut mereka iblis. Namun, aku diamdiam mengagumi mereka. Orang-orang bilang, mereka mampu menciptakan api dari udara kosong. Mampu memerintah angin. Mampu mengendalikan binatang-binatang buas. Mampu menghilang. Mampu membunuh secepat kedipan mata.
Kalau kau mengubek-ubek pasar gelap, kau akan menemukan kayu pipih bertuliskan nama mereka, diukir dengan indahnya. Itu barang terlarang, semata-mata dibuat agar mereka bersedia melindungimu—atau, setidaknya, tidak menyakitimu. Apa pun opini orang, semua tahu masingmasing julukan mereka. Sang Pencabut Nyawa. Magiano. Sang Pengelana Angin. Sang Alkemis.
Para Elite Muda.