"SEKARANG SARAPANKU nasi kuning saja, persediaan mie instan juga sudah habis." Mahendra mengambil dompet yang terselip dalam tas hitam dan tidak lupa memesan ojek online.
Selama terduduk di belakang mas-mas berkumis yang mengendarai motor dengan kecepatan sedang, Mahendra mengetatkan jaketnya, menahan rasa kantuk yang menyerang tiap kali angin malam menampar pipi dan rambut. Lalu memandangi kelap-kelip lampu jalanan beraneka warna yang menyilaukan mata. Mahendra membuka bungkusan permen kecokelatan yang selalu dibawanya dalam saku baju. Sayang sekali, permen itu ialah satu-satunya persediaan anti kantuknya saat ini. Kau pasti sudah tahu lebih dulu tentang bungkusan permen bergambar biji kopi.
"Nasi kuning satu, jangan lupa sambal yang banyak!" celetuk Mahendra saat sepasang kakinya menapaki trotoar dengan lubang menganga, di situlah penjual nasi favoritnya berjualan setiap pagi.
Sang penjual nasi kuning, Nenek Mei, ialah legenda kuliner yang menjadikan jalan perempatan di dekat area SMANJA sebagai markas jualannya, tepat sebelum jalan-jalan umum diaspal hitam dan sekolah megah nan terfavorit itu selesai dibangun. Nenek Mei selalu menjadi lokasi persinggahan bagi para mahkluk pagi untuk sekadar membeli sebungkus nasi kuning atau makan langsung di tempat dengan ditemani para kucing-kucing oranye yang menunggu sesuap nasi. Pekerja kantor dan pegawai negeri rata-rata mendominasi pembeli Nenek Mei yang sudah berkelana ke tengah jalan untuk menunaikan tugas tepat sebelum matahari menampakkan diri.
Makanan yang disajikan pun tidak terlalu berbeda dengan penjual lain, tetapi sambal matah buatannya telah menjadi ikon tersendiri. Sambal yang dibuat dari campuran bawang merah, cabai, garam, terasi dan sedikit minyak goreng. Meski bawang merah kerap disangka-sangka sebagai tokoh jahat penuh emosi pada dongeng umum anak-anak di era modern ini tetapi emosi itulah yang menguatkan rasa dan aroma dari bawang merah, tidak sekadar berarti buruk tetapi ada nilai tersembunyi.
Meskipun sang legenda nasi kuning itu sudah menua, pipi berkerut seperti kayu jati dan tidak mampu berdiri lama-lama, tetapi selama dia semangat bangun pagi dengan tangan yang bergerak dinamis mengaduk-aduk sambal dan nasi--terkadang emosi juga dapat diaduk bersamanya--usahanya tetap akan dikenang sampai ke generasi selanjutnya.
"Sepertinya Nenek baru melihat kau. Pasti kau guru honorer di SMANTA ya?"
"Bagaimana nenek bisa tahu?! Padahal saya belum bicara sama sekali, nenek cenayang ya?"
"Tentu saja tidak, Nenek cuma manusia biasa. Nenek tahu karena akhir-akhir ini cukup banyak guru honorer menjabat di sana termasuk kau sendiri kan?"
"Ya, itu benar. Saya baru menjabat sebagai guru honorer dari 2016 lalu."
"Oh? Apa kau sudah dengar tentang gosip yang beredar di sekitaran sekolah?"
Nenek Mei melontarkan pertanyaan yang dibalas dengan gelengan kepala Mahendra.
"Saya tidak suka bergosip."
"Ah, setidaknya kau harus mendengar gosip anak-anak meski kau laki-laki. Kau tahu Aksan? Dengar-dengar dia sudah punya banyak pacar. Pagi mengantar wanita berambut pirang, siang mengantar wanita berkacamata dan malam membawa wanita berbadan gemuk. Bayangkan, tiga wanita!"
"Masa SMA memang penuh dengan masa percintaan anak muda. Jadi menurut saya itu wajar saja. Nasi kuningnya enak, Nek. Tapi saya tidak bisa lama-lama di sini, saya pamit dulu."
Lucu kalau mengingat masa-masa masih menjadi guru baru di SMANJA, Mahendra sempat tersasar beberapa kali ke beberapa ruang kelas yang jumlahnya bukan hanya satu tetapi puluhan ditambah lagi dengan beberapa sarana penunjang. Sekolah ini memang begitu besar dan luas maka tidak heran bagi para siswa baru yang ingin mencari ruang kelasnya harus mengikuti instruksi dari kakak senior. Beruntung Mahendra dengan cepat bisa beradaptasi akhirnya ia tidak tersesat lagi sampai tiga kali.
"Anda wali kelas 10-A? Mari ikuti saya." seorang perempuan dengan name--tag bertuliskan 'Fransisca' selaku wakil kepala sekolah membawa beberapa berkas dan bertugas memberi pengarahan.