THE YOUTH CRIME

Dwi Budiase
Chapter #6

Makna Dari Warna

JEMARI-JEMARI kecil menekan tuts-tuts piano, memainkan irama bertempo lambat dengan melodi lembut yang mewarnai seisi warung makan, sejenak mengusir lelah dan gundah yang menimpa para tamu. Mereka hanya fokus pada layar ponsel sesekali mengunyah makanan yang sudah tersaji tanpa peduli dengan sekitar, penampakan sikap individualisme yang biasa terjadi di kota-kota besar. Seusai aksi heroik oleh Mahendra, dia tak dapat meninggalkan mie Aceh miliknya yang kini sudah agak dingin.

Mahendra mengajak dua anak yang sebelumnya hendak melakukan aksi berbahaya di jalanan itu untuk makan bersama sembari berbincang hangat. Namun, mereka berdua enggan untuk makan. Saya minum air putih saja, begitu respon keduanya. Puluhan pasang mata memandangi ketiganya dengan terheran-heran.

Di sela-sela makan, Mahendra memulai obrolan untuk mengusir suasana canggung. "Siapa nama kalian?"

"Nama saya Jayadi," celetuk laki-laki kecil berambut hitam dan kemerah-merahan itu dengan malu-malu. Laki-laki yang jauh lebih tinggi dan duduk bersebelahan dengannya dengan antusias memperkenalkan diri. "Nama saya Arifin. Saya teman Jayadi. Kami berdua sama-sama tinggal dibelakang SD Permata Jaya."

Mahendra tersenyum mendengar jawaban keduanya sambil sibuk mengunyah mie. Obrolan mereka kini seputar kegiatan yang dilakukan sehari-hari.

"Arifin ... sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya ya?"

"Ah! Pak Hendra!"

Mereka tertawa cekikikan karena tidak menyangka akan bertemu lagi untuk kedua kali.

"Apa makanan kesukaan kamu, Adi?"

"Ayam goreng." Jayadi menggoyang-goyangkan kakinya di lantai warung yang dingin sembari mengamati pantulan wajahnya pada segelas air.

Jayadi menuturkan bahwa ia bersekolah di SD Permata Raya, sekolah swasta di Jakarta Selatan yang berdekatan dengan SMANTA. Ia kerap jadi bahan bullying dan perundungan di sekolah karena fisiknya yang kecil, apalagi ketika pulang sekolah ada geng lelaki SMANTA yang selalu mengejek dan mencemari nama orang tuanya. Jayadi malas untuk membalas semua itu karena ia tahu hanya akan menghabiskan energi saja. Mahendra terkejut rupanya anak kecil itu mampu menceritakan alur kehidupannya dengan sangat baik.

"Kalau Bapak nggak menyelamatkan kamu tadi, kamu bisa mati tahu. Kamu tahu kan?"

Jayadi mengangguk. "Saya tahu."

"Lantas kenapa kamu tetap melakukan itu?"

"Supaya saya dikenal oleh satu Indonesia. Saya mau terkenal seperti mereka, berguna bagi orang tua. Anak-anak lain sudah melakukannya. Lalu kenapa saya tidak, Pak?"

Mahendra tersedak, buru-buru dia menenggak es kopi. "Bapak mengerti kamu ingin terkenal seperti anak yang lain, tetapi coba pikir. Kamu sudah terkenal tetapi kamu sudah jadi mayat akibat terlindas truk. Bagaimana?"

"Intinya saya mau terkenal!" terang Jayadi. Jawabannya begitu polos dan jujur.

Jayadi kembali diam. Sebentar-sebentar ia mengambil selembar kertas dan kotak pensil warna, ia mengambil salah satu pensil warna dan mencoreti kertas yang sebelumnya sudah diwarnai dengan warna merah.

Mahendra mengelap bibirnya yang belepotan. "Untuk apa coretan warna itu?"

"Kertas ini menggambarkan suasana hati saya. Saya punya empat pensil warna. Warna merah artinya semangat, hitam artinya sedih dan sakit. Biru artinya tidak tenang. Dan abu-abu artinya bahagia."

"Sekarang kamu sedih?" tanya Mahendra menopang dagu.

Jayadi bertanya balik. "Apa warna yang Bapak lihat?"

"Hitam."

Laki-laki kecil itu mengangguk singkat, pertanda ia memang benar-benar sedih.

"Kamu biasa melakukannya?"

"Ya, setiap hari. Saya biasa memendam semua perasaan dan emosi, apalagi kalau di rumah. Saya tidak akur dengan ayah, saya sering dimarahi dan selalu tersakiti. Bicara tidak boleh, saya lebih suka coret-coret di kertas."

"Sejak kapan kamu melakukan ini?"

"Dari kelas 1 SD. Sekarang saya sudah kelas 3. Lihat, Pak!"

Lihat selengkapnya