SEMESTER 1, 16 JULI 2018.
WAKTU BERJALAN sangat cepat, tidak terasa anak-anak kelas 10 kini telah menginjak kelas 12 yang di mana sisi kedewasaannya mulai muncul. Mahendra sebagai wali kelas 12 yang ikut menyertai perjalanan anak didiknya turut merasakan beban yang semakin berat dijunjung.
Hari kelahiran identik dengan kebahagiaan dan suka cita, begitupun dengan warga sekolah SMA Nasional Jakarta. Kini sudah tak sabar membunyikan genderang hebat.
Menjelang perayaan, pegawai dan staf SMANTA sibuk mengatur hiasan-hiasan kelas, umbul-umbul peringatan, persiapan panggung megah dan yang tak kalah penting ialah penyebaran undangan. Menurut rumor, tahun ini pihak sekolah mengundang bintang tamu yang akan memeriahkan jalannya acara, identitasnya masih dirahasiakan. Tetapi sudah dapat dipastikan bahwa bintang tamu tersebut ialah seorang penyanyi terkenal di Indonesia.
Guru-guru pun jadi lebih sibuk dalam mengurusi bakat anak-anak didiknya yang akan menjadi bagian dari penampilan acara. Nantinya mereka yang terpilih akan dilatih dan dibina di minggu terakhir bulan Juli. Sementara itu bagi yang tidak memiliki bakat terpendam--atau memang lebih baik dipendam saja--cukup menjadi penonton.
Hari ini kelas 12-A mendapat pelajaran matematika, pelajaran yang paling dibenci nomor dua setelah fisika. Alasannya bukan saja mereka tidak pandai berhitung atau banyaknya angka-angka yang memusingkan ditambah lagi rumus yang beranak-pinak, ini semua diakibatkan oleh trauma tidak paham tetapi bingung mau bertanya apa.
"Berdiri!"
Setelah memberi hormat sesuai ritual yang biasa dilakukan setiap pagi, sekretaris kelas sibuk mengisi jurnal absensi.
"Anak-anak, sekarang siapa yang tidak hadir?" tanya Kirana ketika sibuk mencari-cari spidol hitam dalam tas.
"Nomor absen satu, lima, tujuh dan sepuluh Bu." Cherrybelle menyahut sembari menyerahkan jurnal absensi.
Ibu Kirana membuka buku matematika di halaman seratus, kali ini materi yang diajarkan ialah tentang peluang. "Baik. Hari ini kita akan mempelajari tentang trigonometri. Sebelumnya Ibu ingin bertanya terkait ulang tahun sekolah kita, siapa yang ingin menyalurkan bakat?"
Semuanya mengangkat tangan tinggi-tinggi. Ibu Kirana tersenyum sebentar, melirik sekilas ke bangku paling pojok. "Dhani, apa bakat kamu?"
Laki-laki yang asyik memegang dasi itu seketika tersentak. "Eh, saya bisa nyanyi."
"Bohong! Nyanyi lagu nasional aja nggak hafal kau!" celetuk salah satu temannya.
"Sudah-sudah, bakat teman-teman kalian jangan ditertawakan begitu dong. Nanti kalau kalian ditertawakan juga gimana?" tanya Ibu Kirana memasang wajah cemberut, gemas dengan kelakuan anak-anak 11-A yang kelewat batas.
Pandu berseru sambil terkekeh. "Ya, ikut tertawa juga, Bu!"
Setelah mencatat nama-nama siswa yang berminat untuk menyalurkan bakat, Ibu Kirana mengambil spidol dan menuliskan rumus serta beberapa latihan soal. Peluang, materi yang terbilang sulit. Bukan sekadar mencari diketahui dan ditanya, materi ini juga melatih bagaimana memperkirakan serta menganalisis berapa banyak peluang yang akan terjadi.
Seperti biasa setelah menjelaskan materi, ada sesi tanya-jawab. "Ada yang ingin bertanya?" tanya Ibu Kirana sembari memainkan tutup spidol.
"TIDAK!"
Materinya sulit dipahami lagipula bingung juga mau bertanya apa, toh tidak paham. Aksan menggerutu dalam hati, ia tahu teman-temannya tidak paham dengan materi yang telah disampaikan tetapi mereka enggan untuk memberi pertanyaan sebab mereka pun juga tidak tahu harus bertanya apa. Seakan-akan semua materi yang diajarkan hilang begitu saja ditelan angin maka pada akhirnya anak-anak akan kebingungan dan memilih untuk diam.
"Kalau tidak ada yang bertanya, mari kita lanjut ke latihan soal."
Deg. Mendadak kelas 12-A dihujani oleh rasa kebingungan absolut. Para siswa-siswi menggerakkan tangannya yang begitu kaku, mengambil pulpen dan meletakkan selembar kertas. Ibu Kirana telah selesai menuliskan dua soal di papan tulis. Pertanyaan yang ... tidak dapat diprediksi. Setelah menulis identitas, mereka kini digempur oleh hitungan dan rumus peluang.
Menyontek? Silakan. Lagipula ini bukan ulangan atau ujian tetapi jangan harap contekan itu benar. Berkutat dengan buku paket tiada guna kalau tidak paham juga, sekarang para siswa hanya menunggu waktu istirahat tiba. Jam berjalan begitu lambat, seolah-olah membeku. Suasana seperti inilah yang menjadi trauma tersendiri bagi kelas 12-A mengingat di tingkatan kelas sebelumnya mereka dicap sebagai 'kelas dengan rata-rata terendah' di bidang matematika dan fisika.