"UMUR BUKANLAH patokan apakah anak sudah bisa dikatakan dewasa atau belum. Lima belas tahun? Dua puluh tahun? Kalau mental mereka masih labil, sama saja."
Di jam istirahat saat siswa-siswi asyik berbelanja ke kantin, ruang guru dalam keadaan panas. Bahkan tiga kipas angin yang sudah terpasang di tiap sudut dindingnya tak mendinginkan kepala para guru yang sedang berdiskusi terkait masalah anak-anak yang tak pernah bosan dibicarakan.
Mahendra berdiri dihadapan para guru untuk menyampaikan argumen miliknya yang sudah ditahan-tahan sejak lama. Masih banyak yang menganggap kalau siswa-siswi yang tidak tahu aturan itu harusnya sudah paham dan mengerti mengingat status mereka sebagai anak SMP ataupun SMA padahal tidak ada hubungannya sama sekali.
Ibu Kirana sependapat. "Benar. Kita sebaiknya tidak usah memaksa mereka untuk jadi orang dewasa melainkan menuntun mereka ke jalan yang benar. Sebab proses pendewasaan itu ialah pilihan masing-masing anak."
"Ya, di sini kita bisa bilang begitu. Tetapi di luar, anggapan ini sudah menjamur di masyarakat dan mereka akan terus menyalahkan pihak sekolah kalau ada siswa berperilaku buruk. Intinya, kita hanya bisa berharap," celetuk Fransisca yang kebetulan melewati para guru dan menyimak diskusi itu.
Mahendra sedikit tersenyum dan mengakhiri diskusi itu diiringi tepuk tangan. "Harapan tak akan terjadi kalau kita terus diam, bukan? Jadi mari kita sama-sama belajar dan melakukan diskusi ini sesering mungkin."
"Walau dia hanya guru honorer tetapi rasanya dia lebih kompeten dan profesional."
Adelia berjalan pelan menuju papan informasi tentang ketentuan pakaian dan kegiatan sekolah sehari-hari. Di sana tertera jelas bahwa di hari Jumat ini akan dilaksanakan ekstrakurikuler yang berlangsung tiap minggu. Makanya jam pelajaran sekolah ditambah dua jam, sedikit lebih lama dari hari lain. Biasanya mereka pulang pukul empat sore tetapi kini pukul enam sore.
Seusai jam pelajaran, para siswa-siswi secara bergerombol bergerak menuju kelas-kelas ekstra yang sudah dibagi. Sebelumnya kalau ada siswa yang belum mendaftar maka wali kelas akan membantu.
Ekstrakulikuler ialah tempat penyaluran bakat dan minat siswa dalam mengembangkan potensinya serta meningkatkan kemampuan. Di SMANJA sendiri ada belasan ekstrakurikuler yang dapat dipilih sesuai keinginan dan dibatasi untuk satu ekstra saja.
Dari semua ekstrakurikuler, yang paling diminati ialah musik. Sebab kalau punya bakat memainkan musik dan bermain bersama-sama maka akan menghasilkan irama dan melodi yang luar biasa.
"Ekstra musik ada di sebelah sini ...." Mahendra mengarahkan Adelia ke area kelas besar yang dipenuhi dengan alat-alat musik, puluhan kursi penonton dan panggung megah. Adelia seketika takjub dengan fasilitas lengkap yang tersedia di sini, ibaratnya studio musik terbesar yang pernah dilihatnya. Alih-alih sekolah biasa, Adelia lebih suka menyebut sekolah ini dengan akademi musik.
Rasa takjubnya sirna seketika saat suara-suara musik yang sebelumnya ia dengar berhenti. Sekumpulan siswa yang sedang menggenggam alat-alat musik itu tampak melempar tatapan tajam nan sinis ke arah Adelia, seolah keberadaannya tidak diperkenankan di sini. Mereka rata-rata berkulit putih bersih, rambutnya selurus jalan tol, sehitam arang dan beberapa laki-laki ada bermata biru yang mencerminkan darah Eropa. Keseragaman itu mungkin jadi perbedaan bagi Adelia yang terlihat tidak menarik bagi mereka. Ah, ia tak ambil pusing. Gadis berkulit hitam tak kalah manis dengan yang putih.
Seorang wanita berkacamata setinggi 160 senti yang tampak menggenggam jurnal absen itu tersenyum. Ia membetulkan posisi kacamatanya dan mendekati Adelia yang masih diam. "Perkenalkan, nama Ibu Lucy Sanada. Kamu Adelia dari Maluku ya? Senang sekali bertemu dengan orang Timur, sepupu Ibu ada yang berasal dari sana."
"Ah, salam kenal Ibu Lucy." Adelia sedikit menunduk, rupanya sang tuan rumah masih menerimanya dengan baik. Suara tawa terdengar diikuti bisikan-bisikan halus dari para gadis yang kelihatan mengejek kemampuan Adelia. Entah gadis itu akan memainkan musik apa.