THE YOUTH CRIME

Dwi Budiase
Chapter #15

Pertemuan Dua Pasangan

GEMURUH PETIR mengejutkan seisi gedung SMANTA yang disusul oleh kehadiran hujan disertai badai.

Cuaca terlihat tidak bersahabat sejak malam kemarin sesuai dengan perkiraan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menginformasikan akan segera terjadinya hujan di beberapa wilayah Jakarta dan kemungkinan adanya banjir juga makin sering diperingatkan. Meski bencana meluapnya air sungai yang memperparah kondisi infrastruktur dan kegiatan masyarakat sudah sering terjadi saat hujan tiba, tidak ada yang kapok akan hal itu. Sekarang kalau bencana itu muncul lagi pun akan disambut dengan suka cita yakni bermain air tercampur lumpur dan menikmati kolam gratis tetapi tidak higienis. Dan biasanya yang sering mengalami hal ini ialah para warga miskin tinggal berdempetan dalam suatu gang dengan pengelolaan drainase air yang buruk. Sementara kaum konglomerat dengan nyaman tinggal di rumah yang tinggi atau minimalis tetapi modern dan jarang mendapati area kebunnya kebanjiran. Perbedaan ini begitu tampak di wilayah Jakarta.

Mahendra mengambil payung yang terletak di sudut area parkir sepeda motor, sebentar-sebentar melirik ke arah langit yang tak kunjung cerah. Beberapa siswa berseragam batik tampak menginjak genangan air dengan santai sembari menghirup udara segar. Siang itu tidak terasa panas seperti biasanya, setidaknya Mahendra tidak perlu mengeluh panas untuk hari ini. Berbekal payung berwarna hitam, dia melewati rintik-rintik air yang menyisakan gerimis.

Melangkah masuk menuju ruang guru, Mahendra dikejutkan oleh beberapa anak didiknya kelas 11-A yang sedang berdiri dihadapan guru BK dengan semburan kata-kata pedas dari Martinus seolah tak akan pernah berhenti sampai dunia kiamat. Masalah lagi, masalah lagi. Mahendra mengelus dadanya yang hampir-hampir tak mampu untuk bernapas. Salah satu dari mereka tersenyum miring ketika dia memandangi anak-anak itu seolah tak merasa bersalah. Mahendra buru-buru meletakkan tas dan daftar nilai diatas meja guru.

"Dari dulu yang bermasalah cuma kelas 11-A terus, nggak ada bosan-bosannya ya anak-anak itu! Lihat ini, hm! Tugas IPA banyak tuh nggak dibuat dan kau tahu respon mereka bagaimana? Santai, besok dikumpul. Besok, besok, katanya. Begitu terus!" celetuk Ibu Asih selaku guru mata pelajaran IPA kelas XI.

"Ya, bosan gimana? Toh, bagi mereka membuat masalah itu sudah jadi kesenangan dan kebiasaan. Nggak akan hilang begitu saja. Lihat nih, contoh generasi penghancur bangsa!" tandas Ibu Deysi selaku guru BK yang menunjuk beberapa siswa 11-A yang berdiri mematung dengan senyum sinis.

"Kalau hukuman tidak mempan membuat mereka jera, maka langkah selanjutnya ialah dideportasi. Balik lagi, ini akan memengaruhi citra sekolah yang sudah kita bangun bersama-sama."

"Urusan citra sekolah belakangan, yang penting masalah anak-anak 11-A ini segera dituntaskan secepat dan sebaik mungkin agar tidak menimbulkan masalah lain, Pak."

Fransisca melirik Mahendra sekilas dan menaikkan dadanya sedikit. "Pak Mahendra, tolong berikan respon dengan sopan dan santun."

"Ah, maaf." Mahendra mengatup kedua tangannya sebagai permohonan maaf.

Lihat selengkapnya