THE YOUTH CRIME

Dwi Budiase
Chapter #17

Kegelapan Di Balik Senyuman

"Api dan bensin membakar habis tempat neraka yang tak lagi bisa disebut sebagai rumah kedua. Setidaknya ... aku tidak akan pernah merasakan sakit hati lagi. Tidak akan."

PERASAAN BUKAN hanya dimiliki oleh orang dewasa tetapi anak kecil pun memiliki indera perasa dengan ingatan yang sangat kuat dan pekat yang sering kali tak pernah disadari.

Seorang laki-laki mengenakan hoodie abu-abu gelap tampak berusaha membuka pintu gerbang sekolah yang tertutup rapat dan rupanya juga digembok. Ia tidak kehabisan akal, lelaki itu mencari celah dinding yang rendah di sebelah utara bagian sekolah tersebut dan melompat sekuat mungkin. Berhasil! Ia segera berlari menuju area gedung kelas yang biasa digunakan sebagai tempat belajar di pagi hari tetapi di malam hari kini terlihat sunyi tanpa tanda-tanda kehidupan.

Anak itu mengeluarkan sebuah botol berisi cairan mudah terbakar dan menuangkannya di sekitar area lantai kelas. Kemudian menuju lorong dan koridor sekolah hingga berakhir di tengah lapangan basket. Ia mengambil pemantik api dari dalam tas dan sebelum menyalakan sumbunya, sumpah serapah keluar dari mulut lelaki dengan hoodie serba gelap itu.

"Tempat terkutuk ini akan selamanya terkutuk dan tak akan ada lagi korban bully selanjutnya selain aku! Hancurlah kalian!"

Ia menjatuhkan pemantik api tersebut di area lapangan basket yang telah dibasahi dengan cairan bensin. Api segera bergerak dan menjalar menuju area gedung sekolah. Tampak api mulai membesar dan asap membumbung tinggi bersamaan dengan senyuman iblis penuh kemenangan dari anak tersebut yang notabene merupakan salah satu siswa SMP dan termasuk orang yang kerap dibully.

"Segala luka yang ada di hatiku seperti bara api, kelihatannya kecil tak berdaya tapi sesungguhnya ada kekuatan yang bisa membuat orang-orang sekitarku mati!"

Laki-laki itu segera pergi dari sekolah yang sebagian gedung telah dilahap oleh si jago merah dan kedatangan tim petugas damkar mengejutkan dirinya.

"KEBAKARAN! KEBAKARAN! CEPAT, PADAMKAN API!"

Anak itu tersenyum lega ketika berhasil menjalankan aksi brutal berupa pembakaran sekolah. Namun, ada satu hal yang dilupakan olehnya. Beberapa area di luar sekolah dilengkapi dengan kamera pengawas 24 jam yang siap menangkap gambar orang-orang mencurigakan.

****

Mahendra menyalakan televisi berukuran mini yang menampilkan gambar patah-patah dengan bunyi berisik. Bukan masalah sinyal atau cuaca yang buruk, memang barang itu sudah ketinggalan zaman. Maklumlah, Mahendra sebagai orang yang gemar berhemat lebih memilih harga sewa rumah terjangkau dengan persediaan barang yang cukup terbatas daripada sangat lengkap tetapi pengeluarannya makin membengkak. Setelah memanaskan air, dia segera menuangkan bumbu beserta bubuk cabai. Menyantap mie kuah di malam hari yang dingin memang mantap.

"Ayolah!" Mahendra menepuk-nepuk sebentar televisi tua itu dan sedikit memukulnya agar sinyal kembali normal, kalau tidak hati-hati bisa saja barang itu langsung hancur begitu saja. Layarnya kembali menampilkan siaran televisi dengan berita yang sedang hangat.

"Pemirsa, seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun melakukan tindakan bunuh diri secara diam-diam yang terjadi dikediamannya, di Gorontalo. Sehari sebelum kejadian perkara, korban sempat berkeluh kesah dengan orang tua bersangkutan tentang aksi pembullyan serta penganiayaan yang dilakukan oleh teman sekelasnya yang sudah dialami selama empat tahun. Diduga karena korban sudah tidak kuat menanggung beban maka di siang hari yang sepi ketika orang tuanya sedang pergi bekerja, si anak menyiapkan tali tambang dan melakukan aksi gantung diri. Berita akan dilanjutkan setelah jeda pariwara berikut ini."

Makanan tak akan enak lagi rasanya kalau tiba-tiba dihantam dengan kabar menyedihkan atau meresahkan yang membuat hati dan perut sama-sama berkutub negatif yang kalau disamakan dengan magnet akan memunculkan reaksi tolak-menolak. Itulah mengapa Mahendra tidak kunjung memakan mie kuah rasa ayam itu dan hanya mencium aroma yang begitu nikmat. Dia meletakkan sepiring mie itu diatas meja seraya memijit kepalanya yang terasa berat seperti sedang membawa sebongkah batu raksasa. Selama ini dia mengira bahwa hanya ketika anak-anak sudah dewasa saat itulah mereka sadar dan paham bagaimana sakit dan kejamnya dunia ini. Namun, di luar sana sesungguhnya ada begitu banyak anak-anak yang menjadi pelaku dan korban kekerasan yang akan menipu kebenaran lewat senyuman palsu.

Setelah jeda iklan berakhir, berita kembali dilanjutkan dengan berita mencengangkan. Lagi-lagi kasus anak dibawah umur dengan tindakan diluar nalar.

"Pemirsa, seorang bocah SMP Negeri 50 Jakarta Selatan rela membakar gedung sekolah lantaran sakit hati setelah dibully oleh teman-temannya dan pihak guru yang tidak menindaklanjuti masalah yang dihadapi oleh bocah tersebut. Setelah membeli bensin dan korek api sesuai rekaman dari kamera pengawas sekolah yang berlangsung di malam hari, pelaku tampak membasahi seluruh area sekolah dengan bensin dan setelah berada di pintu gerbang, pelaku menyalakan korek api dan terjadilah kebakaran hebat. Pelaku meninggalkan lokasi kejadian tiga puluh detik setelahnya. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini tetapi kerugian gedung ditaksir mencapai ratusan juta rupiah."

Untuk kedua kalinya, Mahendra tidak segera menghabiskan mie kuah panas itu dengan menutup mulutnya tanda tak percaya.

"Tiā€”tidak mungkin!"

Di mata orang dewasa, mereka hanyalah anak kecil yang gemar bermain-main dengan kelakuan lucunya tetapi di mata Mahendra sendiri justru anak-anak itu sedang membuat keseriusan lewat tingkah bermainnya yang keras dan tumbuh menjadi seorang dewasa yang paling berbeda di dunia ini.

Setelah menghabiskan mie kuah yang terasa hambar di lidah, Mahendra segera menggosok gigi dan menyalakan lampu tidur. Dia bersiap-siap untuk menyelam dalam mimpi yang indah, entahlah. Dari kemarin mimpinya sangat aneh, kadang dikejar-kejar sama kuntilanak yang ingin menagih sate ataupun berjalan ditengah rumah tua yang menyeramkan. Horor semua! Dia pun lekas menutup mata tetapi samar-samar merasakan ada sesosok bayangan hitam yang sedang berdiri pada jendela. Sepertinya ada orang lain yang sedang mengintip dari luar, entah siapa pokoknya Mahendra tidak mau tahu.

Mahendra menerima notifikasi pesan singkat dari Rayna dan membacanya segera.

"Wica, besok kita pergi ke TKP di SMP Negeri 50 Jakarta Selatan, pukul 07.00 WIB. Jangan sampai terlambat."

Lihat selengkapnya