TIDAK SEMUA hal-hal yang terlihat sederhana mudah dilaksanakan. Begitupun dengan pihak kepolisian yang berusaha mencari pelaku pembunuhan layaknya mencari jarum dalam seonggok jerami.
Mahendra tidak bisa menggunakan sebagian waktunya untuk berleha-leha, selagi pelaku masih belum ditemukan sesuai keterangan dari tim INAFIS tidak menemukan sidik jari pada beberapa barang bukti yang telah ditemukan. Pembunuhan itu dilakukan dengan cukup rapi dan hati-hati agar polisi tidak bisa menangkap dalang pembunuhan. Tetap saja segala pertanyaan pasti ada jawaban. Mahendra mengetatkan jas hitam miliknya dan menyalakan motor ninja kesayangan.
Mahendra akan mengunjungi alamat rumah wali kelas 12-E dan 12-D yang telah didapat dari hasil obrolan lewat telepon semalam bersama Fransisca.
"Malam, Fransisca. Ini aku, Mahendra. Maaf mengganggu waktumu malam-malam."
"Malam. Mahendra? Ada urusan apa sampai menghubungi aku tengah malam begini?"
"Apa kamu tahu alamat rumah wali kelas 12-E dan 12-D?"
"Ya, aku tahu. Silakan dicatat, alamatnya di …."
PERUMAHAN ASRI MUTIARA, JAKARTA PUSAT. 10.00 AM
Berkendara selama setengah jam sembari menikmati pemandangan macetnya kota Jakarta yang tidak pernah habis-habisnya. Di hari libur ini cukup banyak anak-anak muda berolahraga pagi mengelilingi taman kota dan sesekali membeli sarapan. Mahendra masih sedikit mengantuk sebab dia belum sempat minum kopi capuccino di warung makan favoritnya. Mungkin dia bisa menyempatkan waktu setelah melakukan wawancara singkat.
Sempat tersesat karena semua rumah memiliki jenis dan interior yang sama, Mahendra mencocokkan dengan nomor rumah. Seorang pembantu tampak sibuk membersihkan kebun yang dipenuhi dengan tanaman hias yang menghijau. Dia diperkenankan masuk dan menatap betapa megahnya area rumah tersebut.
"Halo, Bu Dhea."
"Halo, Pak Hendra. Sepertinya kita jarang bertemu ya walau satu sekolah. Mari masuk."
Mahendra menduduki sofa besar dengan sebuah meja kecil dihadapannya. Di situ tergeletak sebuah koran yang baru saja dicetak kemarin pagi. Halaman utamanya masih sama, berita trending tentang pembunuhan dan penganiayaan sadis yang dialami oleh tiga remaja SMA Nasional Jakarta. Tidak berselang lama, Dhea mengantarkan segelas es kopi dengan taburan cokelat diatasnya, lumayan dapat minuman gratis. Mahendra meletakkan kembali koran tersebut dan menyeruput kopi. Seperti biasa, rasanya manis. Semanis senyuman wanita dihadapannya.
"Sepertinya Anda sudah tahu saya akan bertanya tentang apa tanpa perlu saya katakan lagi."
Dhea sedikit tersipu malu, guru bahasa Jepang itu hanya geleng-geleng kepala. "Ya, saya juga berpikiran begitu."
"Baiklah. Langsung saja. Bagaimana perasaan Anda ketika mengetahui bahwa anak didik Anda mengalami musibah yang tidak pernah diduga?"
Perlahan senyuman wanita itu mengendur sambil menatap jauh ke arah langit biru tanpa dihiasi gugusan awan. Dhea menitikkan sedikit air mata, Mahendra menyodorkan tisu setelahnya.
"Terima kasih. Benar, saya tidak pernah menduga hal itu benar-benar terjadi. Sekalipun saya membenci tingkah mereka, tetap saja mereka adalah anak didik yang saya cintai."
Mahendra membetulkan posisi jurnalnya agar terlihat lebih rapi di pangkuannya. "Bagaimana kelakuan Viki dan Pramoedya selama menjadi siswa kelas 12-E menurut pandangan Anda?"
"Berdasarkan pengamatan saya, keduanya kerap jadi sorotan setiap hari karena aksi kenakalan dan tindakan bully serta sudah sering dipanggil oleh guru BK. Kendati begitu mereka tidak pernah merasa kasihan sedikitpun dan semua tugas-tugas sekolah yang diberikan tidak dikerjakan sampai diberikan peringatan berkali-kali."
Mahendra mencatat keterangan itu dalam buku catatan kecil. "Bagaimana respon orang tua dari masing-masing anak ini menurut Anda?"