THE YOUTH CRIME

Dwi Budiase
Chapter #22

Misteri Di Antara Teka-teki

MERANGKAI BUKTI dari segala teka-teki yang sudah didapat tidak semudah menebak sebuah kata yang diacak-acak. Perlu pemahaman yang lebih mendalam untuk menghadapi kasus-kasus belum terpecahkan.

Ten Angels melanjutkan jalan-jalan mengelilingi Bali yang sempat tertunda karena mereka harus menginap dulu semalam di hotel berbintang lima yang megah dan mewah di area Sanur bernama The Meru. Mereka harus beristirahat untuk mempersiapkan energi esok harinya. Pihak hotel telah menyediakan sarapan pagi jadi anak-anak tidak perlu bingung untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Menu sarapan yang tersaji juga beragam, tidak hanya makanan bernuansa lokal tetapi juga dipadukan dengan gaya barat.

"Hari ini kita akan pergi ke mana?" tanya Martinus di sela-sela sarapan.

Sopir bus menyahut, "Destinasi wisata pertama kita adalah Patung Garuda Wisnu Kencana, Pak. Kemudian di siang hari akan dilanjutkan ke Pantai Pandawa. Dan terakhir menjelang malam, menikmati sunset bersama atraksi tari kecak di Pantai Uluwatu."

Setelah memasuki bus, para guru tidak lupa melakukan presensi agar tidak ada anak-anak yang ketinggalan. Perjalanan selama tiga puluh menit melewati area tatanan kota Denpasar yang masih begitu kental dengan budaya dan nuansa Bali. Sama sekali tidak terlihat gedung-gedung tinggi seperti yang biasa ditemukan di Jakarta sebab pemerintah daerah telah menetapkan aturan tentang batas tinggi gedung yang tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa. Satu-satunya gedung tertinggi di Bali yakni Hotel Grand Inna Beach yang terletak di Sanur dan kini berganti nama menjadi The Meru.

Tebing-tebing berbatu menyambut kedatangan Ten Angels. Tiket sudah dibayar jadi tinggal masuk dengan santai. Lagi-lagi mereka sibuk memotret untuk disebar ke instastory ataupun status WhatsApp dengan membubuhkan lokasi. Di balik tebing itu, tersembunyi sebuah patung tembaga yang berdiri megah, Garuda Wisnu Kencana. Patung yang telah dikenal luas secara nasional bahkan internasional.


Aksan cukup menikmati perjalanan ke patung GWK itu karena ia juga suka dengan hal-hal yang berbau kesenian baik itu kuno maupun modern. Selain mengelilingi area GWK, Ten Angels juga dihibur dengan penampilan tarian khas Bali seperti tari tambulilingan, pendet, merak dan barong.


Pantai Pandawa, pantai idaman anak-anak muda yang kerap membawa doi atau pacar untuk menikmati keindahan bawah laut dan pasir putihnya. Berada dibalik tebing yang sangat tinggi dengan jalanan yang sedikit curam, pantai ini hadirkan ketenangan sejenak bagi manusia-manusia kota yang sudah lelah melihat keramaian insan berlalu-lalang. Ten Angels tanpa malu-malu berlari-larian menginjak pasir putih dan bermain air. Beberapa ada yang sibuk dengan ponsel atau diam menatap ombak yang sedang bergulung dan hancur ketika mencapai daratan. Ibarat ingin meraih tujuan yang sudah ditanam tetapi tidak kunjung tercapai, gagal berkali-kali.


"Kalau gagal bukan berarti kau tertinggal. Percayalah."


Mahendra tersenyum tipis tepat ketika dia memandangi jurnal hariannya. Jurnal itu sudah terisi setengah dari keseluruhannya, mungkin dia akan membeli jurnal baru lagi setelah penuh dengan tulisan. Baiklah, tidak ada waktu untuk tidur lagi. Mahendra bergegas untuk pergi ke rumah sakit.

"Selamat pagi, dengan Bapak Hendra? Anak kami sudah bisa dijenguk. Kami tunggu kedatangan Anda di ruang rawat inap."

"Baik. Terima kasih informasinya, Bu."

Perjalanan menuju rumah sakit masih dibayang-bayangi oleh keterangan dari Bendho tempo lalu yang memberikan titik terang bagi Mahendra tentang hubungan kemunculan 'anak kecil di TKP' yang dimaksud dengan struk pembelian. Pertama, semua barang yang dibeli itu nominalnya puluhan dan jenis barangnya adalah makanan ringan dengan minuman bersoda. Yah, itu biasa dibeli oleh anak-anak. Kedua, waktu yang tertera pada struk pembelian. 14 Desember 2018, pukul 21.50. Tanggal berapa kejadiannya? Itu diperkirakan setelah kamera pengawas SCBD mati yang pasti sudah direncanakan sebelumnya, pukul 11.30.

Mahendra memarkirkan motor di area parkir rumah sakit yang tidak pernah sepi pengunjung dengan beberapa pasien duduk di kursi roda dan anak-anak yang sedang dirawat di UGD. Dia melangkah masuk menuju resepsionis rumah sakit yang tampak begitu ramai. Seorang perawat melempar senyum padanya.

"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Mahendra merapikan rambutnya sebentar. "Saya ingin mencari pasien atas nama Egy Septian."

"Pasien atas nama Egy Septian ada di ruang Melati-02. Mari saya antar."

Sepanjang perjalanan menuju ruang rawat inap, Mahendra menyempatkan diri untuk bertanya perihal kondisi Egy dan orang tuanya saat ini. Perawat bertopi putih itu tampak antusias mendengarkan pertanyaan Mahendra yang tidak pernah berhenti. Wajar saja sebagai penyidik kepolisian, Mahendra tidak bisa bekerja hanya dengan tutup mulut.

"Sebagai informasi Pak, saat ini pasien sedang mengidap penyakit *Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD pasca kejadian lalu. Jadi saya mohon agar Anda tidak membicarakan kejadian saat itu yang bisa memicu rasa trauma pasien. Kami memprioritaskan kenyamanan seluruh pasien."

Mahendra manggut-manggut mendengarnya sambil menggesek sepatunya ke lantai. "Bagaimana dengan orang tuanya? Apa mereka juga merasa trauma?"

"Tidak, Pak. Mereka tampak sedikit cemas saja tetapi tidak sampai trauma. Mari masuk ...."

Mahendra disambut dengan suara mesin monitor pendeteksi detak jantung yang berbunyi secara berkala yang mengindikasi pasien bahwa masih tetap bernapas. Selama masih bernapas maka masih hidup.

Seorang wanita setengah paruh baya tampak duduk di kursi kayu bersebelahan dengan ranjang tidur pasien. Di situ tampak Egy sedang dihubungkan dengan selang infus, bunyi mesin yang mendeteksi suara detak jantungnya, obat-obatan berupa antibiotik beserta piring yang berisi sarapan telah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Wanita itu diketahui bernama Shena selaku Ibu kandung Egy yang sudah bercerai dan kini menikah dengan suami baru berkebangsaan Australia.

Mahendra memeluk Shena sebentar yang masih dalam kondisi cemas dan hampa diikuti suara Egy yang terbatuk-batuk. Mereka berdua sibuk bersalam-salaman sebagai tanda pertemuan untuk pertama kali.

"Halo, Ibu Shena. Anda pasti sudah tahu, saya siapa. Saya Mahendra Wicaksana, Penyidik Anak dari Polsekta Jakarta Selatan sekaligus guru honorer kelas 11-A di SMANTA."

Shena sedikit terbelalak. "Guru di SMANTA?! Kenapa saya baru mengetahui ada guru ganteng dan gagah yang juga jadi anggota kepolisian ini?!"

"Pak, silakan Anda melakukan wawancara dengan anak saya. Saya mau keluar sebentar karena ada urusan mendadak. Sampai nanti!"

Mahendra meletakkan tas punggung dibawah kursi dan duduk berhadapan dengan Egy dalam kondisi sepenuhnya sadar.

"Selamat siang, Egy. Perkenalkan--"

"Siang, Pak Hendra. Bapak tidak perlu melakukan perkenalan lagi karena saya sudah mendengar semuanya dari tadi."

Mahendra terkekeh kecil mendengar sahutan anak itu. "Bagaimana kondisi kamu sekarang?"

"Sudah lebih baik, Pak. Ketimbang lima hari yang lalu," jawab Egy dengan senyum tipis. Tidak, senyuman itu hanya topeng tipuan untuk menyembunyikan rasa sakitnya yang dalam.

Mahendra melirik sekilas ke arah meja kecil yang berada di sudut dinding, sepiring bubur ayam yang belum tersentuh sama sekali. "Kamu belum sarapan ya?"

"Saya tidak nafsu makan, Pak. Omong-omong apa tujuan Bapak ke sini? Mau menangkap saya?" Kebingungan Egy ditangkap jelas oleh Mahendra dan sontak saja dia tertawa renyah.

"Tidak, tidak. Bapak tidak ingin menangkap, hanya meminta keterangan. Karena hanya kamu satu-satunya yang selamat. Kamu pasti sudah tahu bahwa ... kedua temanmu sudah meninggal dunia. Bapak turut belasungkawa atas kematian Pramoedya dan Viki yang sudah dipanggil oleh-Nya."

Egy menggeleng cepat. "Seharusnya saya juga mati."

Lihat selengkapnya