LAHIRNYA ANAK ke dunia dibarengi dengan kebahagiaan orang tua tetapi tidak diikuti dengan kondisi finansial yang makin merosot. Isi dompet menipis ditambah lagi pemasukan kembang kempis. Kalau sudah begini ujung-ujungnya anak yang akan dijadikan sumber masalah tiada akhir, sungguh ironis.
Jeruji besi yang kerap dipandang sebagai area terisolasi dan sedingin es kutub memang demikian adanya tetapi itu tidak cocok bagi para penghuni lapas koruptor yang terkenal karena uang bisa membeli segalanya termasuk penjara sekelas penginapan VIP. Makanan mewah? Barang-barang super mahal? Semua itu bisa didapat dengan duduk manis. Syaratnya ada dua. Lakukan kejahatan dan dompet harus tebal. Di jamin seratus persen bukan mimpi lagi. Mimpi itu akan hadir di dunia nyata.
Makanan penjara bagi tahanan biasa, nasi putih dengan lauk seadanya. Jayadi duduk sendirian diantara sel penjara sebagai satu-satunya tahanan termuda itu tidak mempermasalahkan makanan apa yang disajikan untuknya terlebih selama di sini ia bisa dengan mudah makan nasi dengan ayam goreng kesukaannya daripada di rumah. Tiap kali menghabiskan makanan pasti ia membalikkan mangkuk kecil yang digenggamnya dan tertempel sebuah kertas. Berisi tulisan:
"Ayam gorengnya untuk Anda. Pak Hendra."
Entah mengapa tiap kali membaca itu memori Jayadi kembali terulang pada pertemuan pertamanya dengan penyidik kepolisian di sebuah warung makan disebabkan karena kejadian yang tak diinginkan. Kalau diingat-ingat lagi ia memang bodoh hingga hampir saja melakukan bunuh diri secara sengaja. Namun, mengapa Mahendra tidak pernah bilang padanya kalau ia bodoh bahkan sampai membunuh orang? Percakapan ini sempat dilakukannya seminggu lalu ketika sedang berolahraga di area lapangan penjara bersama tahanan lain.
Jayadi memulai percakapan pagi hari itu di lapangan penjara yang dipenuhi oleh para tahanan lain. Ia meluruskan kakinya yang sedikit kaku sambil berjingkrak dihadapan Mahendra.
"Pak. Orang tua saya sering bilang kalau saya itu bodoh dan tidak bisa apa-apa. Saya berpikir kalau memang benar saya bodoh kenapa saya tidak pernah mendengar dari mulut Bapak mengatakan saya bodoh?"
"Adi. Ketahuilah tidak ada anak yang benar-benar bodoh atau pintar. Di dunia ini kedua anggapan itu sekadar penilaian belaka yang bersifat sementara. Bapak mau tanya, apa kamu merasa tersakiti setelah dikatakan bodoh oleh orang tuamu?"
"Jujur, rasanya saya ingin mati saja, Pak. Kalau saya lahir di sini tapi tidak ada gunanya maka untuk apa saya hidup?"
"Kamu pernah bilang mau jadi abdi negara kan? Tujuan kamu hidup untuk menjadi polisi seperti Bapak. Benar kan, Adi? Semua orang adalah sama, sama-sama harus belajar. Tidak ada bodoh atau pintar, intinya belajar dan belajar. Omong-omong kamu harus makan ayam goreng yang banyak supaya cepat gemuk!"
"Siap, Pak!" Jayadi dengan cengengesan mengangguk pelan mendengar ceramah dari Mahendra dan kembali berlari-lari kecil. Anak itu sudah berbeda ketimbang tiga minggu yang lalu.
***
Mahendra berdiri di depan papan tulis seraya menjelaskan tentang materi Bahasa Indonesia yang kini tinggal menyisakan dua bab lagi.
"Sekarang anak-anak bahkan sudah bisa mencari uang sendiri dengan paksaan dari orang tuanya yang tidak disadari mereka akan melahap semua ajaran-ajaran dari luar tanpa saringan informasi yang kuat. Ini jelas berbahaya."
Adelia tersenyum ketika menatap papan kayu di ruang guru. Ia baru saja diberi tahu oleh sang kepala sekolah perihal informasi bahwa dirinya berhasil menduduki kursi Ten Angels posisi ke sembilan. Yah, ini adalah langkah kecil menuju peringkat tertinggi. Target tahun ini ialah peringkat paling pertama yang masih dipegang oleh Aksan.
Latihan untuk persiapan OSN 2019 dilakukan di bimbel LOSECO yang telah menjadi langganan bagi para siswa-siswi SMANTA.
Adelia melirik sebentar ke arah Aksan yang sedang membayar beratus-ratus ribu rupiah ke salah satu petugas bimbel dan menerima tumpukan kertas entah apa isinya. Adelia berjalan mendekati lelaki itu untuk mencari tahu soal itu.