MAHENDRA MEMUTUSKAN untuk bertukar peran dengan Reyhan. Mereka sudah beberapa hari mengamati gerak-gerik di Pondok Pesantren Cahaya Ilahi, dan Hendra merasa ini saat yang tepat untuk mengubah strategi. Reyhan kini menjaga gerobak bakso, sementara Mahendra berkeliling sebagai tukang sapu dan satpam keliling, berpatroli di sekitar area pesantren.
Reyhan menata gerobak bakso dengan cermat di pinggir jalan menuju pesantren. Udara malam itu terasa lebih berat, penuh dengan ketegangan yang tak kasat mata. Tak lama kemudian, seorang kyai berjenggot putih panjang menghampiri gerobak Reyhan. Kyai itu dikenal dengan nama Gatot Mujahid, sosok yang disegani di pesantren tersebut.
"Bakso dua bungkus, Nak," kata Kyai Gatot sambil tersenyum tipis. Ia mengenakan jubah putih panjang dengan peci di kepalanya.
Reyhan, dengan penuh sopan, meracik pesanan sambil menatap Kyai Gatot dengan penasaran. "Dua bungkus, Kyai? Kalau boleh tahu, satu bungkusnya lagi buat siapa?" tanyanya pelan namun penuh arti.
Kyai Gatot tertawa kecil, "Untuk anak didik saya, dia kelaparan. Kasihan kalau nggak dikasih makan."
Senyuman di wajah Reyhan tak memudar, tapi kecurigaan mulai merayapi pikirannya. Ada sesuatu yang ganjil dari cara Kyai Gatot berbicara. Mengapa seorang santri bisa kelaparan, padahal pondok pesantren ini dikenal cukup makmur?
Setelah Kyai Gatot pergi membawa dua bungkus bakso, Reyhan segera mengaktifkan walkie-talkie yang tersembunyi di bajunya. "Rayna, Hendra, aku curiga. Kyai Gatot baru saja beli dua bungkus bakso. Dia bilang satu buat santrinya yang kelaparan, tapi ada yang nggak beres," lapornya dengan nada tegang.
Di ujung sana, Hendra yang tengah menyapu halaman taman pesantren segera menegakkan tubuhnya. "Terima kasih, Reyhan. Aku akan siaga. Awasi terus gerak-geriknya," jawab Hendra, suaranya teredam oleh suara dedaunan yang tertiup angin.