SETELAH KEJADIAN di toilet malam itu, Mahendra dan timnya bergerak cepat. Seluruh pengurus pondok pesantren, termasuk Kyai Gatot Mujahid dan beberapa ustadz lainnya, segera diamankan oleh pihak kepolisian. Tangan mereka diborgol satu per satu, sementara ekspresi wajah mereka beragam—ada yang pasrah, ada yang penuh dengan ketakutan, dan beberapa masih menunjukkan sikap arogan. Pondok Pesantren Cahaya Ilahi yang dulu terlihat sebagai tempat suci kini resmi ditutup, diberi garis polisi yang membentang di sekeliling area tersebut. Tak ada lagi kegiatan religius yang berlangsung di dalamnya, hanya sunyi yang tersisa, dan kebenaran yang akhirnya terungkap.
Di luar pondok, gosip mulai beredar cepat di kalangan masyarakat sekitar. Orang-orang mulai membicarakan praktik keji yang terjadi di balik dinding pesantren, dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan yang selama ini disembunyikan dengan topeng agama. Mereka saling berbagi cerita dan membesar-besarkan kejadian yang bahkan mungkin belum mereka ketahui dengan pasti. Namun satu hal yang jelas, nama baik pesantren itu telah hancur, dan kepercayaan masyarakat terguncang.
Mahendra, yang masih dalam mode penyidik, memastikan bahwa para santri—baik laki-laki maupun perempuan—segera dibawa ke rumah sakit untuk menjalani rehabilitasi fisik dan mental. Anak-anak itu akan dirawat sebelum dikembalikan kepada orang tua masing-masing. Trauma yang mereka alami bukan hanya luka fisik, tapi juga batin, dan Mahendra tahu bahwa pemulihan mereka tidak akan mudah.
Ketika Mahendra tengah mengawasi proses evakuasi para santri, ia bertemu dengan Arifin, seorang bocah SD yang ia temui beberapa waktu lalu ketika menyelidiki kasus ini. Arifin, dengan mata yang terlihat letih namun penuh rasa syukur, mendekat dan memeluk Mahendra. "Pak Hendra, akhirnya saya bebas," katanya dengan suara bergetar.
Mahendra menatap Arifin dengan penuh empati. "Kamu sudah aman sekarang, Arifin. Tidak ada lagi yang bisa menyakitimu."