AROMA SEDAP dari telur goreng sambal tomat dengan kerupuk udang. Mahendra sudah terbangun pagi-pagi sekali karena perutnya tiba-tiba merasa keroncongan. Dia memasak makanan kesukaannya dulu ketika berusia sepuluh tahun.
Masa anak-anak memang masa paling bahagia, tiap hari bisa tertawa terbahak-bahak tanpa perlu memikirkan apa saja masalah yang harus diselesaikan. Makan apa saja yang diinginkan, bermain sepuasnya lewat komputer atau pergi ke warnet dengan biaya dua ribu per jam. Itu harganya masih sangat murah dan bebas memainkan permainan jadul era 2000. Jajanan pinggir jalan yang tidak terhitung jumlahnya biasa mengetem di lapangan bola. Mahendra ingat betul bagaimana dirinya asyik melempar bola ke gawang--tidak tahu kalau bola sepak itu harusnya ditendang--dengan menari-nari di atas tanah seperti Ronaldo.
Jangan lupakan bagaimana senangnya Mahendra ketika dia menyaksikan stasiun televisi yang menayangkan beragam lagu-lagu barat. Dari sana dia tahu siapa saja penyanyi yang sedang populer di tahun tersebut. Salah satu band favoritnya dengan album yang sangat dikenal di seluruh dunia, One Direction.
"Tidak ada lagu yang benar-benar tua, semuanya membuat kita kembali berjiwa muda. Masa-masa yang telah berlalu seolah mengingatkan kita kembali akan masa itu."
Kembali ke masa sekarang, Mahendra menyalakan televisi sembari mengunyah telur goreng yang terasa begitu panas dan keras. Berita dipenuhi dengan nama sekolah 'SMANTA' yang menjadi trending topik di seluruh pelosok wilayah Indonesia. Penyebaran berita di zaman sekarang sangatlah cepat.
Kebobrokan SMANTA perlahan mulai terlihat satu per satu, muncul ke permukaan mengiringi langkah Mahendra sebagai penyidik kepolisian. Memberikan kenyataan bagaimana asuhan dan cara didikan siswa-siswi di SMA bertaraf nasional itu dianggap telah gagal dan tidak pantas lagi dengan sebutan penyandang sekolah berprestasi. Pendidikan karakter sudah mulai pudar digaungkan dengan beralih peningkatan kualitas nilai dan citra sekolah yang dinomorsatukan.
Saat ini para reporter berita sedang sibuk-sibuknya mewawancarai kepala sekolah SMA Nasional Jakarta, Martinus. Beragam pertanyaan dilontarkan habis-habisan kepadanya tiada henti seolah mereka menyayangkan sekolah sebagus itu diam-diam merusak pondasi karakter anak-anak yang perlahan dirasuki oleh tindakan kejahatan dan kriminalitas.
Pastinya untuk mencegah keruntuhan yang akan terjadi, pihak SMANTA segera melakukan klarifikasi dan meminta bantuan dari pemerintah daerah untuk menutupi kasus yang sedang menimpa sekolah. Intinya citra dan kredibilitas sekolah harus tetap terjaga dan tidak boleh goyah. Layaknya pohon kelapa yang makin tinggi maka makin besar pula tiupan anginnya.
Ironisnya, Martinus hanya tutup mulut ketika ditanya oleh ratusan reporter berita dan kamerawan yang berdatangan dari segala arah. Ia sekadar senyum, menerobos sekumpulan orang yang sedang mengerumuni dirinya seperti ribuan semut sedang memakan gula-gula manis.
Ketika Mahendra baru saja sampai di area parkir sekolah, Fransisca buru-buru mendatanginya untuk memberitahukan sesuatu.
"Pak Hendra, Anda dipanggil oleh kepala sekolah. Mohon untuk segera mendatangi ruang kepsek."
Mahendra terdiam sejenak. Baru pertama kali ini kepala sekolah ingin bicara empat mata bersamanya. Yah, daripada penasaran terus akhirnya Mahendra segera berjalan cepat menuju ruang kepsek yang tampak menyepi. Dengan senyum manis seperti biasanya dia mendorong pintu yang terbuat dari kayu meranti itu dengan hati-hati seraya melempar senyum ke arah Martinus.
Kepala sekolah itu duduk dengan memasang tatapan tajam, sudah pasti kehadiran Mahendra tidak akan disambut dengan hangat ketika ia menyalakan televisi dan menyaksikan berita yang sedang trending.
"Mahendra! Kau orang yang sangat bodoh!"
Orang yang disebutkan seketika membeku tanpa bisa berbuat apa-apa. Martinus berdiri beberapa senti seraya melemparkan dokumen dengan kasar entah apa isinya yang mengenai wajah Mahendra.
"Lihat ini, lihat! Media massa seperti koran, televisi, radio dan berita populer di ponsel semuanya membahas tentang betapa buruknya sekolah kita! Ini semua gara-gara kau! Merusak citra sekolah! Dasar bodoh!"
Mahendra hanya mampu menelan ludah, menyimpan semua kata-kata kasar dan pedas itu dalam lubuk hatinya yang terdalam. Dia ingin bicara tetapi kondisi tidak memungkinkan untuk memberikannya waktu menggerakkan bibir. Martinus menggigit bibirnya sendiri seraya menghentakkan kaki keras-keras ke lantai.