THE YOUTH CRIME

Dwi Budiase
Chapter #37

Sosoknya Ada Tapi Hanya Berikan Luka

PERTAMA KALI Aksan menangis ketika ia dilahirkan ke dunia. Namun, saat itu tiada buliran air mata yang jatuh. Kini ia tanpa sadar menangis untuk yang kedua kalinya

Seusai insiden penggrebekan LOSECO oleh pihak instansi pemerintah yang bekerja sama dengan presiden bersama pihak kepolisian yang berhasil membongkar kebobrokan SMANTA terkait perbudakan dan kekerasan anak. Dan ditemukan juga praktik korupsi berupa pungutan liar yang tidak masuk akal dan akhirnya memaksa anak-anak untuk melakukan tindakan di luar nalar demi sesuap nasi.

Aksan Gautama, anak tunggal dari kepala sekolah SMANTA, Martinus Stefanus, berada di puncak dunia yang terlihat sempurna bagi banyak orang. Dengan posisi sebagai peringkat pertama dalam sistem “Ten Angels,” Aksan dikenal sebagai siswa yang cerdas, berprestasi, dan penuh dengan hak istimewa. Kehidupannya dipenuhi dengan segala kemewahan, namun di balik segala fasilitas yang tersedia, Aksan menyimpan kehampaan mendalam yang tak bisa diisi dengan apapun—sebuah perasaan yang perlahan melukai dirinya lebih dalam.

Menjadi anak seorang kepala sekolah seperti Martinus Stefanus membawa privilege yang tidak dimiliki siswa lain. Aksan selalu mendapat dukungan materi dan akademik penuh dari ayahnya—setidaknya itu yang dilihat orang lain. Namun bagi Aksan, kasih sayang seorang ayah adalah hal yang jauh dari jangkauannya. Di balik semua kesuksesan dan posisi terhormat, Martinus lebih menyerupai sosok bayangan daripada seorang ayah sejati. Ia hadir secara fisik, tetapi hatinya selalu jauh, seolah menganggap anaknya sebagai investasi akademik, bukan sebagai individu yang membutuhkan cinta dan perhatian.

Ketika melihat teman-temannya dipeluk erat oleh ayah-ayah mereka setelah kemenangan atau diberikan kata-kata penyemangat, Aksan hanya bisa diam, merasakan ironi pahit dari kenyataan hidupnya. Martinus, sosok yang disegani banyak orang, selalu menganggap Aksan sebagai proyek pribadi untuk menyempurnakan citra dirinya di sekolah. Ia melihat anaknya sebagai perpanjangan dari reputasinya sendiri, dan bukannya mendidik dengan cinta, Martinus membentuk Aksan dengan disiplin kaku yang dingin.

Aksan tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan, bukan hanya dari ayahnya, tapi juga dari sistem "Ten Angels" yang menuntut para siswa untuk menjadi sempurna. Meskipun ia berada di puncak daftar itu, merasa paling unggul di antara rekan-rekannya, kemenangan itu selalu terasa hampa. Setiap medali, piala, dan prestasi yang diraih Aksan hanya mengingatkannya pada kurangnya hal yang ia inginkan—kasih sayang dari ayahnya.

Baginya, rumah tak pernah menjadi tempat yang hangat. Bahkan ketika di tengah kemewahan yang dimilikinya, Aksan selalu merasa kesepian. Di rumahnya yang megah, Martinus jarang sekali berbicara dengan anaknya, kecuali untuk memberikan instruksi atau teguran. Tidak ada percakapan hangat mengenai kehidupan, impian, atau kebahagiaan. Setiap pertemuan mereka lebih terasa seperti pertemuan profesional, bukan antara ayah dan anak.

Ibu Aksan adalah satu-satunya sosok yang bisa diandalkan untuk mencari kenyamanan. Namun, kesibukan Martinus yang menguras perhatian juga mempengaruhi hubungan rumah tangga mereka. Ibunya, meskipun penuh kasih sayang, tak mampu melindungi Aksan dari dinginnya jarak emosional ayahnya. Setiap kali Aksan mencoba mendekati ayahnya, ia hanya berhadapan dengan tembok tak terlihat, seolah-olah cinta dan kebanggaan seorang ayah adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh anak-anak lain, tapi tidak olehnya.

Setiap prestasi Aksan di sekolah hanyalah bagian dari skema ayahnya untuk meneguhkan sistem Ten Angels. Kemenangan di setiap kompetisi lebih untuk memperkuat citra Martinus sebagai kepala sekolah yang sukses, bukannya untuk Aksan sendiri. Keberhasilannya menjadi alat untuk memajukan ambisi ayahnya, bukan sebuah pencapaian yang ia rayakan untuk dirinya sendiri. Ketika teman-temannya berlarian pulang untuk merayakan keberhasilan mereka bersama keluarga, Aksan hanya pulang ke rumah yang sunyi. Semua orang melihat sosok sukses yang tak terkalahkan, tapi di balik wajahnya yang selalu tenang, Aksan berjuang melawan rasa hampa yang semakin lama semakin membesar.

Aksan tahu bahwa kekayaan dan status sosial tidak pernah bisa menggantikan cinta yang tulus. Meski tumbuh dalam lingkungan kaya raya, hatinya kosong, terus mencari apa yang tidak bisa dibeli dengan uang—perhatian, pengakuan, dan cinta dari seorang ayah. Rasa iri melihat orang tua lain memeluk anak-anak mereka semakin menekan jiwanya. Ia sering membayangkan betapa berbeda hidupnya jika saja Martinus memberinya satu pujian kecil yang tulus, satu pelukan hangat setelah hari yang berat, atau satu kalimat penyemangat yang datang dari hati, bukan dari ambisi.

Dengan semua tekanan di sekolah dan hubungan dingin dengan ayahnya, Aksan mulai mencari pelarian. Terkadang, ia merasa seperti hidup dalam dua dunia yang sepenuhnya berbeda—satu di mana ia adalah siswa terbaik yang sempurna, dan satu lagi di mana ia hanya seorang anak yang sangat mendambakan kasih sayang. Di sekolah, ia harus menjaga citra sebagai yang terdepan dalam sistem Ten Angels. Tetapi di dalam hatinya, ia hanya ingin menjadi anak biasa yang dicintai apa adanya, tanpa harus merasa selalu menjadi "proyek" bagi kesuksesan ayahnya.

Semakin hari, semakin jelas bagi Aksan bahwa meskipun ayahnya ada secara fisik, ia selalu absen dalam hal yang paling penting. Luka emosional yang ditinggalkan Martinus membekas dalam di hati Aksan, dan meskipun ia dikelilingi oleh kekayaan, tidak ada satu pun dari harta itu yang bisa mengobati rasa sakitnya.

"Low Student Company atau biasa disingkat LOSECO adalah perusahaan bimbingan belajar dibawah kekuasaan Martinus Stefanus selaku Kepala Sekolah SMA Nasional Jakarta yang kini masih dalam status buronan dan asisten pribadi berinisial S telah berhasil diamankan. LOSECO ternyata memanfaatkan popularitas dan kredibilitas SMANTA untuk melabelkan diri sebagai bimbel ekslusif yang membagikan kunci jawaban ujian nasional, OSN bahkan olimpiade internasional lewat uang. Perusahaan ini sudah berjalan selama delapan tahun dari 2011 dan rupanya bekerja sama dengan seorang polisi untuk menyembunyikan rahasia yang ditutup-tutupi dengan sangat rapi. Kasus ini menarik perhatian dan atensi publik yang luar biasa. Saat ini tim penyidik sedang mendalami kasus dan akan segera melakukan penangkapan tangkap tangan ...."

"Ayah dengar itu?"

Aksan berdiri kaku di ruang tamu seraya mencari siaran berita televisi yang menampilkan berita trending. Foto Martinus terpampang jelas di layar televisi sebagai target buronan yang harus ditangkap.

"Ya? Terus kenapa?" Dengan perasaan bersalah yang ditutup-tutupi, Martinus masih berlagak keras terhadap anaknya.

"Ayah, kalau boleh jujur, ini pertama kalinya Aksan bisa leluasa berkomunikasi karena Ayah selalu tidak punya waktu bicara buat Aksan."

Martinus mengepalkan tangan, sudah pasti ia akan membela diri. "Kamu itu tidak punya perasaan—"

Lihat selengkapnya