"Chimo.”
Pria bermata coklat tua itu memanggil namaku dengan lembut. Sungguh, bukan hanya suaranya saja yang membuatku terbuai dan terpukau. Senyumannya pun teduh sekali. Dua hal yang ada pada diri kak Yuya benar-benar membuatku terpana dan merasa nyaman. Aku bahkan bisa merasakan hawa di sekitarku begitu sejuk seolah-olah aku sedang berada di pegunungan yang masih asri. Oksigen yang menyegarkan ada di mana-mana dan tidak ada yang namanya polusi udara.
“Ya?” jawabku masih dengan ekspresi terpesona.
“Apa kamu sudah tidak menyukaiku lagi?” tanya kak Yuya sendu. Tatapan matanya yang teduh tiba-tiba berubah menjadi sorot mata penuh luka.
Dalam sekejap aku merasa begitu bersalah meski aku tidak tahu apa yang sudah menjadi kesalahanku hingga kak Yuya menanyakan hal seperti itu. Apa kak Yuya tidak bisa melihat kesungguhan di wajahku? Wajah terpesonaku masa tidak kelihatan?
“Kenapa kak Yuya tiba-tiba bertanya seperti itu?” Aku balik bertanya. Ekspresi wajah terpesonaku berubah menjadi ekspresi bak seorang pesakitan. Aku panik setengah mati layaknya orang yang baru saja kepergok selingkuh dan sekarang aku sedang diintrogasi. Aku baru saja akan memulai suatu hubungan, masa aku sudah mau diputus hanya karena dituduh berselingkuh?
“Tadi aku melihatmu berdua dengan Ezuki. Apa kamu masih mengharapkannya? Apa bagimu aku hanya pelarian?” Kak Yuya kembali bertanya dengan raut wajah kecewa yang membuatku semakin terintimidasi.
Aku menggeleng cepat, sebisa mungkin dan kalau bisa secepat mungkin aku ingin menghapus keraguan kak Yuya kepadaku. Aku merasa seperti orang paling jahat sedunia karena sudah lancang melukai perasaan orang sebaik dan selembut kak Yuya.
“Aku tidak akan mendekatinya lagi. Aku janji,” kataku tegas.
“Benarkah?”
“Ya.”
Mendengar jawabanku, kak Yuya kembali mengukir senyuman manis di bibirnya. Ah, senyuman kak Yuya memang yang terbaik. Seandainya saja Ezuki bisa tersenyum semanis senyuman kak Yuya, aku yakin Ezuki pasti akan terlihat lebih tam....