Their Last Wish

Bebekz Hijau
Chapter #4

Bab 4. Kumohon, Tolong!"

Max yang malang. Malam ini ia seolah ketiban sial. Setelah kehilangan kesadaran karena kecelakaan motor, kini pria itu hampir pingsan untuk yang kedua kali. Jika usianya tidak muda, dan jantungnya tidak kuat, sudah pasti ia kembali jatuh ke tanah.

“Sialan, apa yang terjadi padaku?”

Kata-kata itu terus berbisik, terngiang-ngiang di dalam rongga kepala, bersamaan dengan keresahan lain yang mulai bermunculan satu per satu. Tubuhnya boleh lemas gemetaran, keringat dingin bercucuran dimana-mana, namun pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Melelahkan, bagi siapapun yang pernah mengalami situasi semacam ini, pasti paham jika kondisinya sungguh menguras tenaga.

Oh, kenapa? Apa yang salah denganku? Apa kepalaku terbentur terlalu keras? Apa  syaraf-syarafku mulai rusak? Atau … benturannya membuat mataku cacat? D-dan … makhluk apa itu? Benarkah dia hantu? Atau hanya imajinasiku saja? Kenapa sejak kecelakaan, kini aku bisa melihat, hal-hal aneh yang tidak seharusnya nampak di mata manusia? Sial, sial, sial, kalau begini terus, aku bisa gila!

“Mas, Mas, tolong. Kumohon, tolong. Tolong saya.”

Shit, apa lagi ini? 

Ternyata yang rusak bukan hanya mata, namun telinga juga. Max tidak hanya bisa melihat keberadaan makhluk itu, tetapi ia juga bisa mendengar setiap ucapannya dengan jelas.

“Pak, Bapak tidak apa-apa?” tanya Suster yang menghampiri karena khawatir dengan keadaan Max.

Hati pria itu bergejolak. Haruskah ia bicara jujur tentang apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ia harus cerita, bila matanya bisa melihat hantu pasca kecelakaan tadi? Apakah kejadian aneh yang menimpanya punya penjelasan ilmiah? Adakah ahli yang bisa membantu Max untuk menjelaskan masalahnya? Apa ia harus kembali dan meminta dokter memeriksa kondisinya sekali lagi? 

Tetapi … bagaimana jika yang terjadi malah sebaliknya? Bagaimana jika pemeriksaan dokter sudah benar? Bagaimana jika tidak ada yang salah dengan fisik pria itu, hanya ia saja yang berimajinasi berlebihan? Sial, Max tidak siap mempertaruhkan harga dirinya untuk sesuatu yang tidak pasti. Salah sedikit, ia bisa berakhir di rumah sakit jiwa.

“Tidak apa-apa, Sus. S-saya teriak k-karena … ga sengaja lihat tikus lewat. Hahaha, i-iya, kaget Sus, mana tikusnya besar pula,” kata Max sambil tersenyum pucat. Walau panik, urusan bohong dan tipu menipu ia tetap nomor satu.

“Loh, ada tikus? Di dalam rumah sakit ini? Masa sih? Tidak mungkin, lingkungan di sini bersih,” kata suster.

“Bukan Sus, bukan di dalam, tapi di tempat sampah dekat pintu keluar. Tuh, di daerah situ,” kata Max sambil menunjuk pada daerah yang tidak tersentuh cahaya di luar pintu.

“Oh, baiklah. Kalau begitu nanti saya minta untuk diperiksa.”

“Ah, Sus, ngomong-ngomong … apa suster tahu keberadaan Pak Polisi yang tadi mengantar saya ke sini? Saya ingin menanyakan keberadaan motor saya.”

Hanya itu yang ada dalam otak Max saat ini. Setelah kejadian aneh ini, ia hanya ingin pulang, dan berbaring di kasur empuk. Siapa tahu, setelah mentari datang, setelah long nap dan istirahat panjang, otaknya akan kembali normal. Keanehan ini akan lenyap dan ‘poof’, semua kembali seperti semula. 

“Waduh, maaf saya kurang tahu,” jawab Suster.

“Ah, Bapak yang tadi korban kecelakaan itu, kan?” potong seorang satpam yang tak sengaja mendengar percakapan Max dengan suster.

“Benar, saya.”

“Tadi, Pak Polisi itu buru-buru pergi karena ada panggilan darurat. Sebelumnya, ia menitipkan pesan, katanya motor dan juga beberapa barang pribadi Bapak ada di kantor polisi dan besok pagi baru bisa diambil.”

Lihat selengkapnya