Their Last Wish

Bebekz Hijau
Chapter #6

Bab 6. Misi Pertama

Max sudah mengusirnya, tapi wartawan gila itu bertindak seperti bisul di pantat, benar-benar ‘pain in the ass’

Seumur hidup, Max tidak pernah menjumpai wanita seperti dia. Harus diakui, dengan pencahayaan yang lebih baik, dan penampilan yang sudah lebih ‘cerah’ dari semalam, ia terlihat lebih … menarik. Semalam, Max tidak menyadari, bila ternyata ada mata yang indah  di balik kacamatanya, belum lagi kulitnya yang putih, bahkan perempuan punya lesung pipit yang sangat imut walaupun wajahnya cemberut. 

Oh, Tuhan … sayang sekali. Engkau menciptakan perempuan secantik ini, sayangnya level menyebalkannya juga tingkat dewa.

“Apa?” jawab perempuan itu galak. “Apa lihat-lihat?”

“Uhuk, uhuk ….” Max terbatuk-batuk. Kerongkongannya kering saat menyadari bila perempuan ini bukan hanya menyebalkan, tapi juga over percaya diri.

“Idih, GR. Siapa juga yang ngeliatin kamu?” ujar Max tidak terima

“Kamu pikir aku buta?”

“Ya mungkin, tapi yang jelas tingkat kepercayaan dirimu cukup ‘delisional’, Nona.”

“O ya, masa? Perlu bukti?” lanjut Elena sambil menunjukkan sebuah foto yang ada di telepon genggamnya. Bukti tak terbantahkan, dimana mata pria itu memang tertuju padanya. 

“Ha?” 

Sialan. Max mulai gelagapan. Max harus mencari alasan baru, untuk membela matanya yang susah diatur.

“A-aku tidak melihat padamu,” sanggahnya. Kini tingkat kepercayaan diri Max mulai turun, ia harus mulai mengakui bila tanpa sengaja matanya memang memandang perempuan itu cukup lama.

“Kurang bukti? Bagaimana bila kita tanyakan pada sopir taxi di depan? Kurasa dia juga tahu selama perjalanan kamu melihat ke mana.”

“Ehm.” sopir tua itu berdeham. Jujur, ia tahu mata Max menghadap ke mana, namun ia pura-pura sibuk memandang ke jalan. Pak tua itu tidak berminat turut campur dalam urusan receh kedua penumpangnya. 

“A-aku tidak melihat padamu! Ya kan, Pak Tua?” tanya Max untuk mempertahankan harga dirinya. “A-aku melihat p-pada … hantu yang ada di dekatmu!”

Max tersenyum, dia  bangga pada dirinya sendiri. Keahliannya berbohong memang numero uno. Penipu memang dituntut untuk menjadi cerdik setiap saat. Max memandangi perempuan itu lekat-lekat, menunggu reaksi yang akan dikeluarkannya.

Biasanya jika Max menggunakan tipuan macam itu, orang-orang akan kaget, bahkan ada pula yang ngeri ketakutan, namun wanita bernama Elena ini hanya diam dan memberikan senyum seadanya.

“Ckckck, aku bukan anak kecil , dan aku tidak percaya dengan hal-hal begitu!” jawabnya datar.

Kini hantu bapak-bapak itu yang menoleh ke belakang, dan memandangi perempuan itu sambil menggelengkan kepala. Oh, perempuan, andai saja ia tahu bila baik yang hidup, maupun yang mati, semua sudah mulai sebal padanya.

“Kubilang juga apa! Jangan biarkan dia ikut! Sekarang, daripada bikin kesal, bagaimana jika kita keluarkan dia dari mobil?” tanya si hantu pada Max.

“Akupun berpikir demikian, tapi sayangnya, penawaran dia sulit ditolak,” jawab Max untuk menenangkan hantu tersebut. 

“Hah? Apa? Kamu bicara apa? Aku tidak paham!” tanya Elena bingung.

“Aku tidak sedang bicara padamu, aku bicara pada hantu yang duduk di kursi depan,” jawab Max pada perempuan yang duduk di sebelahnya.

“Kamu pikir, kamu bisa menakut-nakuti aku, huh?”

“Sebaiknya kamu jaga ucapanmu. Sebagaimana manusia, hantu juga bisa tersinggung, dan … kalau dia kesal … dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”

Oh, Maxy, kamu memang pintar!

Kini Maxlah yang tersenyum sangat lebar. Dari situasi sekarang, dia sungguh berada di atas angin.

“Bah, terserah,” ujar perempuan itu malas, ia tidak bernia melanjutkan argumen tak berdasar ini. Elena tidak percaya hantu. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak pula nanti. Menurut logis pikirannya, hal semacam hantu tidak ada di dunia ini. Lagipula, apa pula yang ada di pikiran pimpinan redaksi saat menugaskan seseorang sepertinya untuk mengisi rubik horor.

“Jadi … kita pergi ke mana?” tanya Elena. 

“Mall,” jawab Max.

“Hah? Ada urusan apa hantu di Mall?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas, hantu itu yang minta pergi ke Mall,” jawab Max.

“O ya? Masa? Ini bukan akal-akalanmu saja, kan?” 

“Mau percaya atau tidak, terserah. Bukan urusanku.” 

Jujur, Max juga tidak tahu mengapa hantu ini meminta agar dia mengantarnya ke Mall itu. Ingin sekali Max menanyakan apa maksudnya, namun ingatan hantu ini benar-benar parah. Itu juga untung dia masih ingat jika dia ingin datang ke Mall tersebut. 

“Dasar gila!”

Itu dia yang Max tidak mengerti. Bila perempuan ini merasa tingkah Max ‘gila’, mengapa juga ia memaksa untuk ikut? Bukankah lebih baik dia menghabiskan waktu untuk sesuatu yang lebih berfaedah? Kalau seandainya Max juga tidak ketiban sial, ia sendiri malas mengurusi masalah semacam ini. Lebih baik cari uang, ya kan?

“Sudah sampai,” sahut sopir taxi saat memarkirkan mobilnya di depan pintu masuk sebuah Mall.

Lihat selengkapnya