Audri baru tertidur pukul satu pagi. Tugas kuliah yang berderet rapat akhir-akhir ini membuatnya kehilangan jatah tidur secara normal.
Gadis yang baru akan memasukki umur dua puluhan itu mengusap wajah kasar, kemudian meregangkan tubuhnya yang terasa seperti habis digebukki.
Seperti ritual kebanyakaan orang, tangannya mulai meraba tempat tidur, mencoba mendeteksi dimana keberadaan ponselnya yan terus berdering karena alarm yang disetelnya dini hari tadi.
Pukul empat pagi. Berarti dia hanya tidur selama tiga jam.
Audri mendesah kesal. Dia baru teringat kalau hari ini jadwalnya kelas siang. Harusnya dia menyetel alarm sedikit lebih siang agar dapat memulihkan jiwa dan raganya yang kurang mendapat asupan tidur. Namun, sepertinya semalam otaknya terlalu lelah mengerjakan laporan sehingga tidak sampai berpikir demikian.
Audri menarik kembali selimutnya, berniat untuk memejamkan mata lagi setidaknya sampai subuh. Tapi, sebelum niatnya kembali terlaksana, suara ketukkan pintu terdengar membuatnya mengusap wajah sekali lagi.
“Mbak, udah bangun?” Sebuah kepala menyembul dari sela-sela pintu yang sudah mulai usang.
Tanpa berusaha mencari tahu, Audri mengangguk samar.
“Mbak, aku mau ngomong.” Bunyi derit tempat tidur ditambah volume tepian kasur yang mulai turun membuat Audri benar-benar mengurungkan niatnya untuk tidur kembali.
“Apa?” sahut perempuan itu dengan suara serak khas bangun tidur.
“Aku boleh minjam uang nggak?”
Pertanyaan itu membuat mata Audri melebar dan secara otomatis membuat syaraf-syaraf yang masih dalam fase loading dan masih sedikit protes meminta jatah waktu untuk berisitrahat, langsung bekerja secara optimal.
“Buat apa?”
Audri memperhatikkan wajah Keira-adik perempuannya, penasaran. Perempuan yang berusia tiga tahun lebih muda darinya itu terlihat tidak enak hati plus seperti sangat terpaksa harus melakukan hal ini di jam empat pagi.
“Hari ini bayar SPP, Mbak. Uang tabunganku dari hasil jualan dipinjam mama kemarin, tapi sekarang belum dikembalikkan. Mbak ada uang nggak?” Dia memilin-milin jarinya, sebuah gestur yang akan ditampakkan kalau dia sedang gelisah.
“Berapa?”
“Delapan ratus, Mbak. Kalau ada. Kalau nggak empat ratus aja. Biar yang tunggakan bulan kemarin nanti aku yang bayar.”
“Bulan kemarin bukannya udah gue kasih?”
Keira menatap Audri takut-takut. Seperti bila dia berbicara Audri akan membunuhnya ataupun jika dia tidak berbicara Audri akan mencecarnya habis-habisan.
“Ngomong aja.”