Marelien masih tidur. Kamarnya gelap dan berantakan; sweater, syall, kaos kaki, buku-buku berserakan di lantai, di atas meja bertebaran kertas-kertas yang sudah dicorat-coret beserta bungkus keripik kosong di atasnya, kotak biskuit di atas tumpukan buku-buku, teko jus kosong di pinggir meja, dan map besar di kursi.
Disamping meja, dekat jendela kaca besar yang tertutup horden berdiri lemari baju dua pintu yang cat warna putihnya digantikan oleh tempelan warna-warni kertas berisi kalimat-kalimat penting dan kutipan-kutipan dari buku dan lagu, satu pintunya terbuka memperlihatkan isinya yang berantakan.
Di tempat tidur, Marelien yang sedang tidur menelungkup mengigau tak jelas, tangannya menyenggol laptop. Laptop menyala memperlihatkan tulisan novel yang belum selesai. Tampak jelas ia frustasi dengan tulisannya sendiri. Sudah dua bulan dia berhenti menulis karena harus menyelesaikan Skripsi. Disaat teman-temannya sudah akan Yudisium dan menamatkan kuliah di Universitas Tokyo, dia masih bersemayam dalam kamar, merengut pada novel keempat yang tidak selesai-selesai.
Suara langkah kaki dan obrolan di luar kamar nomor 15 lantai 5, membuatnya membuka mata, ia bangun, turun dari tempat tidur, tersandung buku dan mengutuk tanpa suara. Ia berjalan ke pintu dan mengintip ke lubang intip pintu; dua orang wanita muda yang dikenalnya sedang mengobrol pelan, salah satunya memencet bel pintu. Marelien merosot pelan-pelan ke lantai. Mendengarkan baik-baik, berusaha tak menimbulkan suara apapun.
“Apa dia nggak dirumah?” Kata salah seorang wanita memakai bahasa Jepang.
“Nggak mungkin. Dia selalu dirumah” Jawab seorang lagi.
“Telepon saja.”
Mendengar kata telepon, Marelien merangkak cepat-cepat ke tempat tidur, mencari ponselnya. Dia mematikan ponsel lalu kembali merangkak menuju pintu.
“Nggak aktif.” Wanita itu menghela nafas. “kita gantung disini saja?”
“Nggak ada yang ambil kan?”
“Nggak, kamar sebelah nggak ada orangnya. Ah sebentar”
Marelien mendengar mereka berhenti mengobrol. Lalu kedua wanita itu melangkah menjauhi kamar. Marelien menunggu selama lima belas menit, ketika dipikirnya sudah aman, dia membuka pintu sedikit, mengintip, lalu membuka agak lebar, dia melihat ke arah pegangan pintu; ada bungkusan hitam dan dua kertas note yang ditempel dipintunya. Dia mengambilnya lalu mengunci pintu lagi. Dia menghidupkan lampu kamar, duduk dilantai dan bersender ditempat tidur membaca note terlebih dahulu.
“Kami beli ini. aktifin hpnya. by Salbia” Kata note pertama dengan bahasa Indonesia, lalu membaca note kedua “kau ini kenapa, sih? Makan yang banyak lalu ceritakan padaku. Dari Kyoko” tulisan note kedua dengan bahasa Jepang.
Marelien membuka bungkus plastik dan sudah mengenal wangi makanan yang dibawa oleh temannya, Bakso. “Wah, jauh sekali perjalanan mereka, ya.” Gumamnya. Ia tahu, letak warung makan yang menjual bakso jauh dan terletak dipinggiran Yokohama.
“Thanks” gumamnya lagi.
Ia membuka horden, jendela kaca besarnya sudah dibersihkan oleh pembersih jendela, sekarang tidak perlu lagi menyipitkan mata memandang pemandangan kota Yokohama dari kamarnya. Malam tak berbintang, tapi cahaya dari kota Yokohama jelas masih menunjukkan kota ini keren dan cantik. Dia berbalik memandang kamarnya. Kota Yokohama memang cantik, tapi nggak hidup gue. Dia berjalan, memungut barang-barang dilantai, membersihkan meja, sambil menggumamkan lagu dari Adam Levine, Lost Star.
*
Marelien hendak mengunci pintu ketika punggungnya ditepuk keras oleh seseorang, dia berbalik, mendapati Kyoko dan Salbia merengut padanya. Marelien mengunci pintu, merapikan syall, berjalan diantara temannya sambil menggosok punggung.
“Jangan pukul aku.”
“Biar!” Seru Salbia. “kau ini bikin kesal tahu, nggak?! Kemana saja kau seminggu ini?” Marelien diam saja, Kyoko melihat jam tangan lalu menarik mereka berdua.
“Nanti saja, kita sudah telat”
“Lagian, kenapa juga kamu milih pindah dan hidup sendirian? Lihat, aku dan Kyoko sibuk nyariin kamu, takut kenapa-kenapa.” Salbia tidak menggubris perkataan Kyoko masih saja merepeti Marelien. Sementara Marelien tidak menggubris Salbia. Tidak mau menimbulkan cekcok. Baguslah, kalau dia tidak tahu-menahu mengapa Marelien memilih pindah dan menghindar.
“Ah, sebentar! Aku lupa. Kanara berangkat bareng kita hari ini.” Salbia mengecek ponselnya. Marelien melihat sekilas ponsel Salbia. Salbia dan kanara sednag berbalas pesan.
“Kamu yang minta bareng, kan?” Tanya Kyoko sengit. Salbia nyengir.
Salah satu alasan Marelien memilih pindah kamar dari lantai dua yang tadinya sekamar dengan Salbia dan Kyoko adalah untuk menghindari pasangan yang dimabuk cinta. Kanara dan Salbia.
“Mau ketemu dimana?” Tanya Kyoko ketika mereka tiba di lantai dasar dan keluar dari bangunan. Sebelum salbia sempat menjawab, Marelien sudah tahu jawabannya. Karena lelaki itu sudah berdiri bersandar di dinding gedung memegang ponsel.
“Di sini” Jawab Salbia lalu berlari dan menggandeng lengan Kanara. Marelien melirik Kyoko yang wajahnya berubah sebal
“Astaga, norak sekali” Gumam Kyoko. Marelien menunggu kanara dan salbia berjalan didepannya. Kyoko menyenggol Marelien yang sedang melihat kearah kedua temannya di depan.
“Hei”
“Aku tidak apa-apa” Gumam Marelien.
“Kami khawatir sekali padamu”
“Iya, terimakasih.” Tekan Marelien, Kyoko berhenti bicara. Mereka diam sambil mendengarkan obrolan kedua teman didepannya.
Marelien bukan bermaksud kasar dengan berkata sinis dan semacamnya kepada Kyoko, teman satu jurusan di Universitas dan satu-satunya teman asal Jepang yang dekat dengannya. Kyoko adalah orang baik, dia teman pertamanya setelah dia kenal dengan Kanara dan Salbia. Kyoko juga yang membantunya mencari tempat tinggal di Yokohama, membantunya mengingat jalan pulang atau jalan pergi, mengajarinya segala hal yang tidak diketahuinya tentang Yokohama. Marelien menghela nafas lalu melihat kakinya
“Hei, maaf” Katanya.
Kyoko menggeleng. “Memangnya kau salah apa?”
“Nggak, bukan begitu. Aku hanya—“
“Kacau” Kata Kyoko.
“Mm, kacau” Marelien melihat Kanara dan Salbia untuk kesekian kali. Dia kacau karena laki-laki yang disukai sudah menjadi milik sahabatnya. Dan dia tidak bisa membuang perasaan sukanya. Kacau sekali, hendak menemukan jawaban, namun malah tenggelam oleh frustasi masalah pribadi, kuliah dan pekerjaan.
“Makanya, aku minta maaf.” Alasan lain dia memilih pindah adalah, agar dia tak melampiaskan kekesalannya pada Salbia. Atau seringnya bertemu dengan kanara. Sering bertemu bukan solusi untuk mengobati hati yang luka. Dia sudah patah hati seminggu ini.
“Ungkapkan saja.”
“Ha?”
Kyoko menaikkan alis. “Kau mau ini semua berakhir, kan? Ungkapkan saja lalu kau bisa puas menangis dari lalu-lalu”
“Aku nggak pernah nangis” Lagian untuk apa dia mengungkapkan perasaan kepada laki-laki yang sudah jadi milik orang lain? “Nggak ada yang berubah”
“Ada. Kau bisa menemukan orang baru”
“Ha.ha.ha” Marelien berdecak “Kalau segampang itu, mah, aku mau saja, tinggal buka halaman di buku baru”